Kamis, 07 Februari 2013

GROUNDED THEORY DAN PENGODEAN (CODING)


 1.   PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI GROUNDED THEORY
a.   Pengertian Grounded Theory
Penjelasan Strauss & Corbin (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 273-274) tentang grounded theory adalah sebagai berikut: “In this approach, researchers are responsible for developing other theories that emerge from observing a group. The theories are “grounded” in the group’s observable experiences, but researchers add their own insight into why those experiences exist. In essence, grounded theory attempts to “reach a theory or conceptual understanding through stepwise, inductive process.”
Intinya: “Dalam pendekatan ini, peneliti bertanggung jawab untuk mengembangkan teori-teori lain yang muncul dari pengamatan terhadap suatu kelompok. Teori-teori itu bersifat “grounded” dalam pengalaman-pengalaman kelompok yang diamati; tetapi peneliti menambahkan pemahamannya sendiri ke dalam pengalaman-pengalaman itu. Esensinya, grounded theory berusaha mencapai suatu teori atau pemahaman konseptual melalui proses bertahap dan  induktif.”
Tentang tujuan dan perspektif grounded theory, Strauss & Corbin (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 273-274) menjelaskan: – “The phrase “grounded theory” refers to a theory that is develop inductively from a corpus of data. If done well, this means that the resulting theory at least fit one dataset perfectly. This contrasts with theory derived deductively from grand theory, without the help of data.”
– “Grounded theory takes a case rather than variable perspective, although the distinction is nearly impossible to draw. This means in part that the researcher takes different cases to be wholes, in which the variable interact as a unit to produce certain outcomes. A case-oriented perspective tends to assume that variables interact in complex ways, and is suspicious of simple additive models, such as ANOVA with main effects only.”
Intinya: Grounded theory mengacu pada teori yang dikembangkan secara induktif dari data. Apabila grounded theory dilakukan dengan baik teori yang dihasilakn cocok dengan data. Teori ini berbeda dengan teori yang dihasilkan secara deduktif dari grand theory, tanpa bantuan data.
– Grouded theory lebih mengambil perspektif studi kasus daripada perspektif variabel, meskipun pembedaan ini hampir tidak dapat dibuat. Hal ini untuk sebagian berarti peneliti mempelajari kasus untuk menjadi keseluruhan, di dalamnya variabel-variabel berinteraksi sebagai unit untuk membuahkan hasil-hasil tertentu. Perspektif orientasi kasus cenderung mengasumsikan bahwa variabel-variabel berinteraksi secara kompleks, dan curiga dengan model-model aditif seperti ANOVA dengan hanya akibat utama saja.
Selanjutnya, penjelasan lanjutan tentang tujuan dan perspektif grounded theory sebagai berikut: “Although not part of the grounded theory rhetoric, it is apparent that grounded theorists are concerned with or largerly influenced by emic understandings of the world: they use categories drawn from respondents themselves and tend to focus on making implicit belief systems explicit.”
Intinya: “Meskipun bukan bagian dari retorika grounded theory, jelaslah bahwa teoretikus-teoretikus grounded theory memperhatikan atau dipengaruhi secara luas oleh pemahaman-pemahaman emik tentang dunia, mereka menggunakan kategori-kategori dari responden mereka sendiri, dan cenderung memfokuskan pada penyusunan sistem kepercayaan implisit menjadi eksplisit.”
Selanjutnya menurut Strauss dan Corbin (1990: 23) grounded theory: “is one that inductively derived from the study of the phenomenon it represents. That is it discovered, develoved, and provisionally verified through systematic data collection and analysis data pertaining to that phenomenon. Therefore, data collection, analysis, and theory stand in reciprocal relationship with each other. One does not begin with a theory, than prove it. Rather, one begins with an area of study and what is relevant to that area is allowed to emerge”.
Kutipan tersebut mempunyai arti: grounded theory adalah teori yang diperoleh dari hasil pemikiran induktif dalam suatu penelitian tentang fenomena yang ada. Grounded theory ini ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan melalui pengumpulan data secara sistematis dan analisis data yang terkait dengan fenomena tersebut. Oleh karena itu kumpulan data, analisis dan teori saling mempengaruhi satu sama lain. Peneliti tidak mulai dengan suatu teori kemudian membuktikannya, tetapi memulai dengan melakukan penelitian dalam suatu bidang, kemudian apa yang relevan dengan bidang tersebut dianalisis.
Selanjutnya menurut Strauss dan Corbin (1990: 23) terdapat 4 (empat) kriteria utama untuk menilai apakah suatu grounded theory dibangun dengan baik. Empat kriteria tersebut adalah: 1) kecocokan (fit), 2) dipahami (understanding), 3) berlaku umum (generality), 4) dan pengawasan (controll).
Dikatakan cocok (fit) apabila suatu teori itu tepat untuk kenyataan sehari-hari dari bidang yang benar-benar diteliti, dan cermat diterapkan untuk bermacam-macam data. Bila demikian itu berarti cocok (fit) untuk bidang yang benar-benar diteliti. Hal ini seperti dijelaskan oleh Strauss dan Corbin sebagai berikut: “If theory is faithful to the everyday reality of substansive area and carefully induced from diverse data, then it should fit that substansive area”.
Dikatakan dipahami (understanding) apabila grounded theory menggambarkan kenyataan (realitas), ini juga berarti bersifat komprehensif dan dapat dipahami baik oleh individu-individu yang diteliti maupun oleh peneliti pada waktu melaksanakan studi dilapangan. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Strauss dan Corbin sebagai berikut: “Because it represents that reality, it should also be comprehensible and make sense both to the persons who were studied and those practicing in the area”.
Dikatakan berlaku umum (generality) jika data yang menjadi dasar grounded theory itu komprehensif dan interpretasi-interpretasinya bersifat konseptual dan luas, maka grounded theory itu menjadi cukup abstrak dan mencakup variasi-variasi yang memadai sehingga mampu diaplikasikan untuk beragam konteks yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti. Dengan demikian teori itu berlaku umum (generality). Hal ini seperti yang dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: “If the data upon which it is based are comprehensive and the interpretation conceptual and broad, then the theory should be abstract enough and include sufficient variation to make it applicable to a variety of contexts related to that phenomenon”.
Dikatakan pengawasan (controll) karena grounded theory memberikan pengawasan berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada fenomena. Hal ini disebabkan karena hipotesis-hipotesis yang mengajukan hubungan antar konsep - yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pembimbing penelitian – secara sistematik diambil dari data aktual yang berhubungan hanya pada fenomena. Hal ini seperti dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: “Finally, the theory should provide controll with regard to action toward the phenomenon. This is because the hyphotheses proposing relationship among concepts – which later way be used to guide action – are systematically derived from actual data related to that (and only that) phenomenon”.
Mengenai pendekatan yang digunakan dalam grounded theory dijelaskan oleh Strauss dan Corbin sebagai berikut: “Grounded theory adalah suatu penelitian kualitatif yang menggunakan seperangkat prosedur yang sistematis untuk menyusun secara induktif teori tentang suatu fenomena. Penelitian tersebut akan menghasilkan rumusan teoritis tentang suatu realitas, yang terdiri dari sejumlah atau sekelompok tema-tema yang mempunyai kaitan secara tidak ketat. Melalui cara ini, konsep dan hubungan tema-tema tersebut tidak hanya dapat diberlakukan secara umum, tetapi juga diuji sementara”. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Strauss dan Corbin sebagai berikut: “The grounded theory approach is a qualitative research method that uses a systematic set a procedures to develop an inductively derived grounded theory about a phenomenon. The research findings constitute a theoritical formulation of the reality under investigation, rather than consist of a set of number, or a group of  loosely related themes. Through this metodology, the concepts and relationships among them are not only generated but they are also provisionally tested. The procedures of the approach are many and rather specific, as you will see”.
Sedang tujuan dari grounded theory adalah menyusun teori yang tepat dan memberi gambaran yang jelas tentang bidang yang diteliti. Peneliti-peneliti bekerja dalam tradisi yang demikian, dan berharap teori yang mereka bangun dapat dikaitkan dengan teori-teori lain dalam disiplin masing-masing dan implikasinya dapat berguna dalam penerapannya. Hal ini seperti yang dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: “The purpose of grounded theory method is, of course, to build theory that is faithful to add illuminates the area under study. Researchers working in this tradition also hope that their theories will ultimately be related to others within their respective disiplines in a cumulative fashion, and that the theory’s  implications will have useful application”.
Untuk melakukan penelitian grounded theory diperlukan adanya kepekaan teori (theoretical sensitivity). Bahkan kepekaan teori sering diasosiasikan dengan grounded theory (Theoretical sensitivity is a term frequently associated with grounded theory) (Strauss dan Corbin, 1990: 41). “Kepekaan teori mengacu kualitas pribadi dari seorang peneliti. Ini diindikasikan adanya suatu kesadaran terhadap kehalusan makna (subtleties) dari data. Seseorang sampai pada suatu situasi penelitian dengan bermacam-macam tingkat kepekaan, dan hal ini tergantung dari apa yang dipelajari sebelumnya dan pengalaman yang relevan dengan suatu bidang. Hal ini juga dapat dikembangkan lebih jauh selama proses penelitian. Kepekaan teoritis mengacu pada sifat pemahaman yang dimiliki, kemampuan memberi makna pada data, kemampuan untuk memahami, kemampuan memisahkan hal yang berkaitan dari hal-hal yang tidak berkaitan. Ini semua dilakukan dengan istilah-istilah konseptual lebih dari istilah-istilah kongkret. Kepekaan teori memampukan seseorang mengembangkan sesuatu menjadi teori dari dasar, dikonseptualisasikan secara mantap dan terintegrasi secara baik ……”. Hal ini seperti dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: “Theoretical sensitivity refers to a personal quality of the researcher. It indicates an awareness of the subleties of meaning of data. One can came to the research situation with varying degrees of sensitivity depending upon previous reading and experience with or relevant to an area. It can also be developed further during the research process. Theoretical sensitivity refers to the attribute of having insight, the ability to give meaning to data, the capacity to understand, and capability to separate the partinent from that which isn’t. All this is done in conceptual rather than concrete terms. It is theoretical sensitivity that allows one to develop a theory that is grounded conceptually dense, and well integrated....(Strauss & Corbin, 1990: 41 – 42)”.
Selanjutnya dijelaskan bahwa kepekaan teoretik berasal dari sejumlah sumber. Salah satu sumber adalah literatur yang meliputi: bacaan teori, penelitian dan berbagai macam dokumen (misalnya biografi publikasi tentang pemerintahan). Dengan dimilikinya keakraban dengan publikasi-publikasi tersebut, akan dimiliki latar belakang informasi yang kaya dan sensitif terhadap kejadian dalam fenomena yang sedang dipelajari. Hal ini seperti dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: “Theoretical sensitivity comes from a number of sources. Once sources is literature, which include readings on theory, research and document (e.q biographies, government publications) of various kinds. By having some familiarity with these publications, you have a rich background of information that “sensitizes” you to what is going on with the phenomenon you are studying”.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa grounded theory adalah suatu yang bersifat konseptual atau teori sebagai hasil pemikiran induktif dari data yang dihasilkan dalam penelitian mengenai suatu fenomena. Atau suatu teori yang dibangun dari data suatu fenomena dan dianalisis secara induktif, bukan hasil pengujian teori yang telah ada. Untuk menganalisis data secara induktif diperlukan kepekaan teori (theoretical sensitivity).
Agar hasil analisis secara induktif terhadap data fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai grounded theory harus memenuhi 4 (empat) kriteria sebagai berikut: 1) cocok (fit) yaitu apabila teori yang dihasikan cocok dengan kenyataan sehari-hari sesuai bidang yang diteliti, 2) dipahami (understanding) yaitu apabila teori yang dihasilkan menggambarkan realitas (kenyataan) dan bersifat komprehensif, sehingga dapat dipahami oleh individu-individu yang diteliti maupun oleh peneliti, 3) berlaku umum (generality) yaitu apabila teori yang dihasilkan meliputi berbagai bidang yang bervariasi sehingga dapat diterapkan pada fenomena dalam konteks yang bermacam-macam,                 4) pengendalian (controll) yaitu apabila teori yang dihasilkan mengandung hipotesis-hipotesis yang dapat digunakan dalam kegiatan membimbing secara sistematik untuk mengambil data aktual yang hanya berhubungan dengan fenomena terkait.


  1. Ciri-ciri Grounded theory
Dari penjelasan-penjelasan Strauss dan Corbin tentang grounded theory tersebut di atas juga dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri grounded theory sebagai berikut:
1)      Grounded theory dibangun dari data tentang suatu fenomena, bukan suatu hasil pengembangan teori yang sudah ada.
2)      Penyusunan teori tersebut dilakukan dengan analisis data secara induktif bukan secara deduktif seperti analisis data yang dilakukan pada penelitian kuantitatif.
3)      Agar penyusunan teori menghasilkan teori yang benar disamping harus dipenuhi 4 (empat) kriteria yaitu: cocok (fit), dipahami (understanding), berlaku umum (generality), pengawasan (controll), juga diperlukan dimilikinya kepekaan teoretik (theoretical sensitivity) dari si peneliti. Kepekaan teori adalah kualitas pribadi si peneliti yang memiliki pengetahuan yang mendalam sesuai bidang yang diteliti, mempunyai pengalaman penelitian dalam bidang yang relevan. Dengan pengetahuan dan pengalamannya tersebut si peneliti akan mampu memberi makna terhadap data dari suatu fenomena atau kejadian dan peristiwa yang dilihat dan didengar selama pengumpulan data. Selanjutnya si peneliti mampu menyusun kerangka teori berdasarkan hasil analisis induktif yang telah dilakukan. Setelah dibandingkan dengan teori-teori lain dapat disusun teori baru.
4)      Kemampuan peneliti untuk memberi makna terhadap data sangat diperngaruhi oleh kedalaman pengetahuan teoretik, pengalaman dan penelitian dari bidang yang relevan dan banyaknya literatur yang dibaca. Hal-hal tersebut menyebabkan si peneliti memiliki informasi yang kaya dan peka atau sensitif terhadap kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam fenomena yang diteliti.

2.   PENGODEAN (CODING)

a.   Pendahuluan

Manfaat coding adalah untuk merinci, menyusun konsep (conceptualized) dan membahas kembali semuanya itu dengan cara baru. Ini merupakan cara yang terkendali dimana teori dibangun dari data. Konseptualisasi atau membangun konsep atau teori berdasarkan data ini merupakan hal yang sangat khusus dari proses coding dalam mengembangkan suatu grounded theory. Hal ini juga membuat berbeda dari analisis-analisis lain seperti yang telah dikemukakan dalam bab pendahuluan. Perbedaan tersebut merupakan upaya memperluas cara yang memungkinkan peneliti mendapatkan beberapa tema atau mengembangkan deskripsi kerangka teoritis yang terkait dengan konsep-konsep.
Menurut Strauss dan Corbin (1990: 57) prosedur analisis dalam grounded theory dirancang sebagai berikut:
1)      Membangun teori lebih dari sekedar menguji pada teori (“Build rather than only tes theory”).
2)      Memberikan proses penelitian suatu kepastian/keketatan yang diperlukan untuk membuat teori menjadi ilmu pengetahuan “yang baik” (“Give the research process the rigor necessary to make the theory “good” science”).
3)      Membantu penganalisaan yang bebas dari bias-bias dan asumsi-asumsi yang terbawa, dan yang dapat berkembang selama proses penelitian berlangsung (“Help the analysist to break through the biases and assumptions brought to, and that can develop during the research process”).
4)      Memberikan dasar atau alas (grounding), membangun keterpaduan, dan mengembangkan kepekaan dan integrasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan teori yang kaya, tersusun secara ketat (tightly woven), eksploratoris yang lebih mendekati kenyataan/realitas yang ada (“Provide the grounding, build the density, and develop the sensitivity and integration needed to generate a rich, tightly woven, explanatory theory that closely approximates the reality it represents”).

Menurut Strauss dan Corbin terdapat 3 (tiga) macam/jenis proses analisis data (coding) yaitu Open Coding, Axial Coding, dan Selective Coding. Agar teori yang dibangun berdasarkan data itu tidak salah, ketiga macam coding tersebut harus dilakukan secara simultan dalam penelitian.
1)      Open Coding: adalah proses merinci, menguji, membandingkan, konseptualisasi, dan melakukan kategorisasi data (The process of breaking down, examining, comparing, conceptualizing, and categorizing data).
2)      Axial Coding: adalah suatu perangkat prosedur dimana data dikumpulkan kembali bersama dengan cara baru setelah open coding, dengan membuat kaitan antara kategori-kategori. Ini dilakukan dengan memanfaatkan landasan berpikir (paradigma) coding yang meliputi kondisi-kondisi, konteks-konteks, aksi strategi-strategi interaksi dan konsekuensi-konsekuensi. (Axial Coding: A set of procedures where by data are put back together in new ways after open coding, by making connections between categories. This is done by utilizing a coding paradigm involving conditions, context, action/interactional strategies and consequenses-consequenses).
3)      Selective Coding: adalah proses seleksi kategori inti, menghubungkan secara sistematis ke kategori-kategori lain, melakukan validasi hubungan-hubungan tersebut, dan dimasukkan ke dalam kategori-kategori yang diperlukan lebih lanjut untuk perbaikan dan pengembangan. (Selective Coding: The process of selecting the core category, systematically relating it to other categories, validating those relationships, and filling in categories that need futher refinement and development).

Dalam Bab V berikut ini prosedur coding dan 3 (tiga) macam coding akan diuraikan lebih rinci, dan dalam uraian-uraian selanjutnya kata yang digunakan adalah coding untuk menggantikan kata pengodean. Namun sebelum uraian tentang prosedur dan macam-macam coding, akan diuraikan lebih dulu mengapa coding dalam penelitian kualitatif sangat penting.

b.      Kata-kata Lebih Padat Makna Dibandingkan Angka-angka
Miles & Huberman (1992: 86 – 87) menyatakan pendapat yang intinya dapat dikemukakan sebagai berikut: Dalam penelitian kualitatif data dan analisis data berupa kata-kata, bukan angka-angka. Kata-kata lebih padat makna yang terkandung, tetapi sering memiliki makna ganda. Hal ini menyebabkan sulit untuk bekerja dengan kata-kata. Seperti kata “board” (bahasa Inggris) dapat diartikan dewan yaitu badan yang dapat membuat keputusan, tetapi dapat juga berarti selembar papan kayu. Sebaliknya angka-angka lebih cepat diproses untuk mendapatkan maknanya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kebanyakan peneliti lebih senang bekerja dengan angka-angka, atau kata-kata yang dikumpulkan, segera diubah dalam bentuk angka-angka. Apabila hanya memfokuskan semata-mata pada angka-angka, perhatian akan bergeser dari substansi kepada hitungan, dengan demikian akan kehilangan keseluruhan makna kualitatifnya. Menurut Miles & Huberman selanjutnya apabila angka-angka yang berasal dari kata-kata menjadi tidak bermakna, biasanya tidak ada cara yang sangat memuaskan untuk membuat lebih dimengerti kecuali kembali pada angka-angka. Menurut Miles & Huberman pemecahan atas masalah ini adalah tetap menggunakan angka-angka dan kata-kata secara bersama dalam melakukan analisis data dalam penelitian kualitatif.
Perlu diperhatikan bahwa angka-angka yang dimaksudkan oleh Miles & Huberman tersebut bukan berarti angka-angka hasil analisis statistik atau skor dari data yang dikumpulkan agar dapat dilakukan analisis statistik, melainkan angka-angka dalam rangka melakukan coding.
Sedang menurut penulis kata-kata dalam rangka membuat coding (berarti melakukan analisis data) harus dikaitkan dengan konsep yang mengandung makna tertentu. Suatu konsep mengakomodasikan beberapa kata, misalnya konsep manajemen mengakomodasikan kata merencanakan, mengatur, melaksanakan, mengawasi, memberi perintah dan lain-lain. Konsep ini selanjutnya diperlukan guna menyusun kategori-kategori, yang selanjutnya dari kategori-kategori tersebut dapat disusun atau dirumuskan ciri-ciri. Dalam konteks penelitian grounded, dari ciri-ciri kemudian ciri-ciri tersebut dapat diletakkan dalam garis dimensinya, yang selanjutnya dapat dirumuskan grounded theory setelah beberapa tahap yang lain dilakukan. Jelaslah disini dengan kata-kata lebih mudah untuk dikaitkan dengan konsep yang mengandung makna. Atau dengan kata lain kata-kata lebih padat makna dibandingkan dengan angka-angka.



c.       Pengertian dan Prosedur Coding
a)      Pengertian Coding
Coding pada dasarnya merupakan proses analisis data, yaitu data dirinci, dikonseptualisasikan dan diletakkan kembali bersama-sama dalam cara baru. Ini merupakan proses sentral dimana teori-teori dibentuk dari data (….data are broken down, conceptualized, and put back together in new ways. It is the central process by which theories are built from data”) (Strauss and Corbin, 1990: 57).
b)      Prosedur Coding
Apa yang menjadikan proses coding sedemikian menarik dalam pengembangan grounded theory ? Apa yang membuatnya berbeda dari metoda-metoda analisis yang lain ? Yaitu bahwa metoda ini mempunyai tujuan yang lebih luas, tidak hanya memungkinkan peneliti memberikan beberapa tema, atau mengembangkan kerangka kerja deskriptif yang teoritis berdasarkan konsep-konsep yang terjalin secara longgar. Prosedur analisis grounded theory juga dirancang untuk:
1)      Membangun teori, bukan sekedar melakukan pengujian pada teori (“Build rather than only test theory”).
2)      Memberikan suatu kepastian/ketepatan yang diperlukan dalam proses penelitian untuk membangun teori ilmu pengetahuan yang lebih baik (“Give the research process the rigor necessary to make the theory “good” science”).
3)      Membantu analis mengatasi bias-bias dan asumsi yang terbawa dan dapat berkembang selama penelitian (“Help the analysist to break through the biases and assumptions brought to, and that can develop during the research process”).
4)      Memberikan dasar (grounding), membangun kepadatan makna (density), dan mengembangkan kepekaan dan integrasi yang diperlukan untuk menghasilkan teori yang jelas, kaya, terjalin dengan ketat, yang sangat mendekati realitas yang diwakilinya. (“Provide the sensitivity and integration needed to generate rich, tightly woven, explanatory theory that closely approximates the reality it presents”) (Strauss and Corbin, 1990: 57).
Untuk mencapai tujuan atau maksud tersebut diperlukan adanya keseimbangan antara kreativitas, ketepatan (rigor), ketekunan dan kepekaan teoritik (theoretical sensitivity). Ini merupakan kombinasi beberapa kualitas yang tidak mudah, namun semuanya itu jelas diperlukan kapan pun penelitian dilakukan. Meskipun biasanya tidak dapat diharapkan bahwa peneliti pemula dapat menghasilkan temuan besar, tetapi dengan usaha keras dan ketekunan peneliti akan mampu memberikan kontribusi pada bidang kajiannya.
Analisis dalam grounded theory terdiri atas 3 (tiga) tipe utama coding, yaitu: a) pengodean terbuka (open coding), b) pengodean aksial (axial coding),             c) pengodean selektif (selective coding).
Sebelum diuraikan lebih lanjut apa itu pengodean, terdapat 4 (empat) hal penting yang harus diketahui, yaitu:
1)            Melakukan analisis sesungguhnya adalah membuat interpretasi. Ada alasan yang bagus untuk itu, seperti yang dikemukakan oleh Diesing (1971: 14) seorang filsuf ilmu pengetahuan: “Sesungguhnya ilmu pengetahuan ilmiah sebagian besar merupakan penemuan atau pengembangan, bukan peniruan; konsep, hipotesis, dan teori tidak ditemukan dalam keadaan sudah dibuat oleh kenyataan tetapi harus dibangun”. (Doing analysis is, in fact, making interpretations and there is good reason for this. As Diesing (1971: 14), a philosopher of science says: “Actually scientific knowledge is in large part invention or development rather than an imitation; concepts, hypotheses, and theories are not found ready-made in reality but must be constructed”).
2)            Walaupun ditetapkan prosedur dan teknik tetapi sama sekali tidak dimaksudkan agar peneliti hanya terpaku pada prosedur dan teknik tersebut. Diesing (1971: 14) mengemukakan: “Prosedur tidak bersifat mekanistis atau otomatis, bukan pula sebuah algoritma yang dijamin dapat memberikan hasil. Prosedur dan teknik hanya diterapkan secara fleksibel menurut situasi, dan berbagai alternatif tersedia dalam tiap langkah” (The second is that while we set these procedures and techniques before you, we do not at all wish to imply rigid adherence to them. Again to quote Diesing (1971: 14) “The procedure are not mechanical or automatic, nor do they constitute an algorithm quaranted to give results. They are rather to be applied flexibly according to circumstances; their order may vary and alternatives are available at every step”).
3)            Teknik umum yang merupakan inti dari semua prosedur pengodean untuk membantu penggunaan prosedur agar menjadi fleksibel adalah pengajuan pertanyaan. Peneliti harus mengajukan pertanyaan selama melakukan penelitian. Agar fenomena dapat dipahami dengan baik, peneliti dituntut mengajukan banyak pertanyaan, berkaitan dengan fenomena yang sedang dikaji, termasuk ciri-ciri, dimensi, dan komponen-komponen paradigma fenomena tersebut. (“In fact, one general technique that is central to all coding procedures and that help to ensure your flexible use of those procedur is the asking questions. You should be asking questions all along the course of your research project. As you read the next chapters, you will see so many questions being asked about the phenomena under study, and about their various properties, dimensions, paradigm components, and so forth, that is some reasons you wishes to keep track of them you would be hard pressed to do so ……”).
Catatan penulis: pertanyaan penelitian dalam penelitian kualitatif tidak hanya digunakan dalam upaya mendapatkan pemahaman yang mendalam dari permasalahan yang diteliti, tetapi dalam konteks grounded theory, pertanyaan digunakan dalam rangka menemukan konsep-konsep yang sama guna penyusunan kategori-kategori, menemukan ciri-ciri yang sama guna penyusunan dimensi-dimensi sebagai dasar-dasar penyusunan teori.
4)      Sangat disarankan untuk mempelajari semua prosedur pengodean secara lebih rinci. Setiap prosedur harus dimengerti sebelum menuju proses selanjutnya, dengan demikian dimiliki pemahaman yang lebih baik. Apabila prosedur ini dipahami dan dipraktekkan dengan baik, maka pengodean itu akan menjadi alat penelitian yang benar-benar efektif. (“We strongly recommend that after reading the chapters on coding (rapidly if you wish), that then you study each in great detail. These chapters (5 – 10) cover basic analytic procedures and their logic. Each procedure must be understood before proceeding to the next, otherwise your overall understanding of them will be less secure than you would wish. Once grasped and practiced they become really effective research tools”).

d.   Pengodean Terbuka (Open Coding)
a)   Istilah-istilah yang akan digunakan
Sebelum diuraikan tentang seluk beluk pengodean terbuka, akan diuraikan lebih dulu pengertian pengodean terbuka, dan beberapa istilah yang akan dipergunakan dalam penjelasan pengodean terbuka, yaitu:
1)      Konsep; merupakan label konseptual yang diberikan pada kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa yang berlainan, dan hal-hal lain fenomena lainnya. (“Concepts; conceptual labels placed on discrete happenings, events, and other instances of fenomena”).
2)      Kategori; merupakan klasifikasi konsep. Klasifikasi ini dibuat pada waktu konsep-konsep diperbandingkan satu dengan yang lain yang terkait dengan fenomena yang sama. Kemudian konsep-konsep tersebut dikelompokkan secara bersama-sama dalam suatu tingkat yang lebih tinggi, yaitu konsep yang lebih abstrak yang disebut kategori. (“Category: A classification of concepts. This classification is discovered when concepts are compared one against another and appear to pertain to similar phenomenon. Thus the concepts are grouped together under the higher order, more abstract concept called a category”).
3)      Pengodean: proses analisis data. (“The process of analyzing data”).
4)      Pencatatan kode: hasil pengodean. Ini merupakan sebuah bentuk memo. (“Code Notes; The products of coding. These are one type of memo”).
5)      Pengodean terbuka: proses perincian, pengujian, perbandingan, pengonsepan dan pengkategorian data. (“Open Coding; The process of breaking down, examining, comparing, conceptualizing and categorizing data”).
6)      Ciri-ciri: atribut atau karakteristik yang berkenaan dengan suatu kategori. (“Properties; attributes or characteristics pertaining to a category”).
7)      Dimensi: lokasi ciri sepanjang suatu garis kontinum. (“Dimensions; Location of properties along a continum”).
8)      Dimensionalisasi: proses perincian karakteristik ke dalam dimensi-dimensinya. (“Dimensionalizing; The process of breaking a property down into its dimensions”). (Strauss & Corbin, 1990: 61).
Dalam uraian selanjutnya akan dikemukakan contoh konkret bagaimana melakukan pelabelan, penyusunan dan penamaan kategori, pengembangan kategori menurut ciri dan dimensi.
b)   Pelabelan Fenomena
Strauss & Corbin memberikan contoh tentang pelabelan fenomena sebagai berikut:
Anda berada dalam sebuah restoran yang cukup mahal tetapi populer. Restoran tersebut terdiri dari bangunan bertingkat tiga. Tingkat pertama untuk bar, tingkat dua untuk ruang makan kecil-kecil, tingkat tiga untuk ruang makan utama dan dapur. Dapur tersebut terbuka, sehingga anda dapat melihat apa saja yang sedang terjadi. Anda melihat ada seorang wanita berpakaian merah. Ia hanya berdiri di dapur, tetapi menurut akal sehat tidak mungkin pemilik restoran menggaji seseorang hanya untuk berdiri. Rasa ingin tahu anda terusik, dan anda memutuskan untuk melakukan analisis induktif untuk mencari tahu apa sesungguhnya pekerjaan wanita tersebut.
Anda memperhatikan bahwa wanita tersebut sedang memperhatikan secara serius sekeliling dapur, juga tempat para juru masak (koki) bekerja dan wanita tersebut juga memperhatikan secara seksama apa yang sedang terjadi. Lalu anda memberikan label “memperhatikan” (“watching”). Selanjutnya datang seseorang padanya dan mengajukan pertanyaan, dan wanita berbaju merah tadi menjawab. Anda memberi label “penyampaian informasi” (“information passing”). Wanita tersebut tampak memperhatikan segala sesuatu yang ada di dapur dan diruang makan lalu anda memberikan label “pemerhati” (“attentiveness”). Wanita berbaju merah tadi berjalan dan memberi tahu seseorang petugas yang membawa makanan sehingga anda memberi label “penyampaian informasi” (“information passing”). Walaupun ia berdiri ditengah-tengah kegiatan para pekerja, ia tidak tampak melakukan intervensi misalnya mengambil alih pekerjaan dari para pekerja, sehingga anda memberi label “tidak mengintervensi” (“unintrusiveness”). Selanjutnya wanita tersebut berjalan memperhatikan setiap orang dan segala sesuatu, sehingga anda memberi label “memonitor” (“monitoring”). Kelihatannya ia memperhatikan kualitas pelayanan, memperhatikan bagaimana pelayan berinteraksi dengan pelanggan, memperhatikan bagaimana pekerja merespon pelanggan, waktu pelayanan, berapa lama waktu yang diperlukan pelanggan duduk sampai menyampaikan pesanan, memperhatikan pekerja mengantar makanan, memperhatikan respon pelanggan, kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diterima.
Selanjutnya pelayan datang dengan pesanan untuk pesta besar, wanita berbaju merah tadi bergerak untuk membantunya, ia “menawarkan bantuan” (“providing assistance”). Wanita tadi tampak seolah-olah ia tahu betul apa yang sedang ia lakukan, dan ia mempunyai kompetensi/kemampuan untuk itu, ini berarti ia “berpengalaman” (“experienced”).
Ia berjalan menuju tembok dekat dapur dan memperhatikan apa yang ada pada jadwal, berarti ia melakukan “pengumpulan informasi” (“information gathering”).
c)   Penemuan dan Penamaan Kategori
Selanjutnya label-label dari berbagai konsep tersebut harus dikelompokkan ke dalam konsep yang lebih abstrak. Konsep yang lebih abstrak ini mencakup seluruh konsep sejenis yang di bawahnya (kurang abstrak). Proses pengelompokkan konsep yang sama disebut kategorisasi. Contoh konkret kegiatan-kegiatan wanita berbaju merah tersebut di atas yang melakukan kegiatan memperhatikan (watching) sekeliling dapur, memberikan informasi (information passing) kepada para pengunjung, memperhatikan (attentiveness) segala sesuatu yang ada di dapur dan di ruang makan. Memonitor (monitoring) yaitu memperhatikan setiap orang dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk memperhatikan kualitas pelayanan, memperhatikan bagaimana petugas berinteraksi dengan pelanggan, petugas merespon pelanggan, waktu pelayanan, berapa lama waktu yang diperlukan pelanggan mulai dari duduk sampai menyampaikan pesanan. Juga memperhatikan petugas mengantar makanan, memperhatikan respon pelanggan, kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diterima. Semua kegiatan tersebut di atas dapat dikategorisasikan ke dalam konsep yang lebih abstrak yaitu memonitor (monitoring). Sedang bahwa wanita yang berbaju merah mempunyai kemampuan atau kompetensi sehingga ia diberi label “berpengalaman” (“experienced”) tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori monitoring.
Di samping melakukan monitoring, wanita berbaju merah juga melakukan kegiatan menilai dan memperhatikan atau menjaga jalannya pekerjaan. Karena pekerjaannya berkaitan dengan makanan, maka menilai dan menjaga jalannya pekerjaan tersebut diberi label pengatur makanan. Selanjutnya label “pengatur makanan”, label “tidak mengintervensi” dan label “berpengalaman” dikategorisasikan ke dalam konsep yang lebih abstrak yaitu “pengaturan makanan yang baik”. Kategori “pengaturan makanan yang baik” dan kategori “monitoring” dapat dikategorisasikan ke dalam konsep yang lebih abstrak lagi yaitu “pengawas restoran yang baik”, karena pekerjaan memonitori dan mengatur makanan dilakukan dalam konteks rumah makan atau restoran.
d)   Penyusunan Kategori berdasarkan Ciri-ciri dan Dimensi
Selanjutnya pengembangan kategori menurut ciri-ciri (properties) dan dimensi-dimensi dilakukan sebagai berikut: Ciri dan dimensi merupakan hal yang penting untuk dipahami dan dikembangkan karena ciri dan dimensi itu membentuk dasar untuk membuat hubungan antara kategori dengan subkategori. Ciri dan dimensi ini juga diperlukan untuk melakukan analisis guna mengembangkan atau membangun grounded theory. Contoh ciri dan dimensi dari kegiatan wanita berbaju merah dapat dijelaskan sebagai berikut:
Telah diketahui ternyata bahwa wanita berbaju merah adalah bukan wanita misterius tetapi wanita yang memiliki profesi pengatur makanan. Kegiatan-kegiatan wanita berbaju merah diberikan kategori “pengatur makanan” paling tidak memberi kesan ia bukan pelanggan yang mungkin juga berbaju merah. Dari kategori dapat dirinci dalam subkategori dari jenis pekerjaannya, yaitu: mengamati, memantau, membantu, melihat jadwal, memberikan informasi, dan lain sebagainya. Selanjutnya dari setiap subkategori misalnya subkategori mengamati dapat dilihat dari frekuensinya, durasi waktunya, bagaimana pekerjaan itu dilakukan, siapa saja yang terlibat, dan lain sebagainya. Dari segi frekuensi dapat didimensionalkan dengan membuat pertanyaan: “Seberapa sering ia mengamati pekerjaan tersebut ?“ Dari pertanyaan dapat diperoleh jawaban sering sekali, sering, jarang, jarang sekali dan lain sebagainya. Mengamati juga dapat dilihat dari dimensi intensitasnya. Apakah intensitasnya rendah atau tinggi. Mengamati juga dapat dilihat dari dimensi durasi waktunya yaitu: lama atau sebentar. Demikian juga subkategori memberikan informasi dapat dilihat dari dimensi sedikit atau banyak informasi yang diberikan, dimensi cara memberikan informasi: dengan cara tertulis atau lisan, secara terbuka atau tertutup, dengan suara lantang atau lembut.
Dari uraian tersebut di atas, yaitu proses pemberian label dari peristiwa atau kejadian menjadi kategori yaitu abstraksi pada tingkat yang lebih tinggi, kemudian konsep yang lebih abstrak lagi, kemudian subkategori, selanjutnya ciri-ciri dan dimensi dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:




























































e.   Pengodean Berporos (Axial Coding)
a)   Istilah-istilah yang akan digunakan
Sebelum membahas Axial Coding, akan diuraikan terlebih dahulu pengertian beberapa istilah yang dipergunakan dalam operasionalisasi Axial Coding, yaitu:
1)      Pengodean Berporos (Axial Coding) adalah seperangkat prosedur dimana data disatukan kembali secara baru setelah pengodean terbuka, dengan membuat hubungan diantara kategori-kategori. Hal ini dilakukan dengan menggunakan model pengodean yang meliputi kondisi, konteks, tindakan/strategi interaksi, dan konsekuensi.
(“Axial Coding: A set of procedures where by data are put back together in new ways after open coding, by making connections between categories. This is done by utilizing a coding paradigm involving conditions, context, action/interactional strategies, and consequences”).
2)      Kondisi Sebab-Akibat (Causal Conditions): Peristiwa, insiden, kejadian yang mengarah pada terjadinya atau perkembangan fenomena. (“Causal Conditions: Events, incidents, happenings that lead to lead to the occurance or development of the phenomenon”).
3)      Fenomena (phenomenon): Gagasan utama, kejadian, peristiwa, insiden tentang seperangkat tindakan atau interaksi yang teratur atau berhubungan. (“Phenomenon: The central idea, event, happening, incident about which aset of actions or interactions are directed at managing handling, or to which the set of actions is related”).
4)      Konteks (Context): Seperangkat ciri khusus yang berkaitan dengan suatu fenomena, yaitu; lokasi peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan fenomena sepanjang rentang suatu dimensi. Konteks, mewakili (merepresentasikan) serangkaian kondisi tertentu yang didalamnya terdapat strategi interaksi/strategi tindakan yang diambil. (“Context: The specific set of properties that pertain to a phenomenon: that is, the locations of events or incidents pertaining to a phenomenon along a dimentional range. Context represents the particular set of conditions within which the action/interactional strategies are taken”).
5)      Kondisi yang mempengaruhi (Intervening Conditions): Kondisi struktural yang membuat strategi tindakan/interaksi terjadi, yang berkaitan dengan fenomena. Kondisi-kondisi ini memperlancar atau menghambat strategi yang diambil dalam suatu konteks khusus. (“Intervening Conditions: The structural conditions bearing on action/interactional strategies that pertain to a phenomenon. They facilitate or constrain the strategies taken within a specific context”). (Strauss & Corbin, 1990: 96-97).

b)   Proses Pengodean
Seperti telah diuraikan di muka pengodean terbuka (Open Coding) merinci data sehingga memungkinkan si peneliti menyusun kategori, ciri-cirinya dan lokasi dimensinya. Pengodean Berporos (Axial Coding) mengatur data-data itu kembali secara bersama dalam cara-cara yang baru dengan membuat hubungan di antara kategori dan subkategorinya. Di sini belum dibahas tentang hubungan beberapa kategori utama untuk membentuk formulasi teoritis yang menyeluruh (hal ini akan dibahas dalam Pengodean Selektif (Selective Coding), melainkan masih terbatas pada pengembangan suatu kategori, tetapi melebihi pengembangan ciri-ciri dan dimensinya.
Dalam Axial Coding fokus pembahasan adalah membuat spesifik/khusus suatu kategori dari segi kondisi-kondisi yang muncul, yaitu konteks (serangkaian ciri-ciri yang khusus) yang terkait; tindakan atau strategi interaksi yang dilakukan dan dikendalikan; dan konsekuensi dari strategi-strategi tersebut. Upaya mencari kekhususan/spesifikasi tersebut, (konteks, strategi dan konsekuensi) adalah merupakan penyusunan subkategori. Subkategori pada hakekatnya juga merupakan kategori tetapi dilihat dari kekhususannya/spesifikasinya. Pada Open Coding telah dimulai meletakkan data-data secara bersama-sama dalam suatu bentuk yang berhubungan. Walaupun Open Coding dan Axial Coding merupakan prosedur analisis yang berbeda, tetapi sebenarnya pada waktu si peneliti melakukan proses analisis, ia dapat menggunakan salah satu alternatif dari kedua macam coding tersebut. (“Though open and axial coding are distinct analytic procedures, when the researcher is actually engaged in analysis he or she alternates between the two modes”).
Sebelum dibahas mengenai bagaimana membuat spesifikasi dari kategori melalui Axial Coding, ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu:
1)      Pada waktu melakukan Open Coding berbagai macam kategori diidentifikasi. Misalnya suatu kategori mempunyai kekhususan yang bersifat kondisi, sementara kategori lain menunjukkan tindakan/strategi interaksi, kategori lain menunjukkan konsekuensi dari tindakan/ strategi interaksi.
2)      Label-label konseptual yang ada tidak harus selalu ditempatkan pada kategori kondisi, strategi dan konsekuensi. Tetapi apabila memang menghadapi fenomena atau peristiwa yang dapat dibedakan seperti itu sebaiknya dilakukan penyusunan subkategori seperti itu, misalnya: Ada subjek yang sakit/menderita sakit (kondisi), subjek tadi mengalami demam (fenomena), lalu ia minum amoxilin (strategi), setelah beberapa saat ia merasa baik (konsekuensi). Sehingga tersusun tiga subkategori yaitu subkategori kondisi, fenomena, strategi dan konsekuensi.
3)      Dengan tersusunnya subkategori-subkategori, maka dapat disusun ciri-ciri seperti durasi, tingkatan dan intensitas. Dari durasi, tingkatan dan intensitas ini dapat ditentukan lokasi dimensinya dan lokasi dimensi ini terkait dengan penyusunan teori.
4)      Dalam Axial Coding, subkategori-subkategori dihubungkan dengan kategori-kategori melalui sebuah model yang disebut “model hubungan” (penulis).
Selanjutnya akan diuraikan tentang “Model Hubungan” dan contohnya. Dalam Grounded Theory subkategori dihubungkan dengan suatu kategori dalam seperangkat hubungan yang menunjukkan kondisi sebab akibat, fenomena, konteks, kondisi-kondisi yang mempengaruhi, tindakan/strategi interaksi, dan konsekuensi. Model Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
(A)  KONDISI SEBAB AKIBAT à (B) FENOMENA à
(C) KONTEKS à (D) KONDISI YANG MEMPENGARUHI à
(E) TINDAKAN / STRATEGI INTERAKSI à (F) KONSEKUENSI
Akan dijelaskan masing-masing subkategori-subkategori tersebut sebagai berikut:
1)      Fenomena
Fenomena adalah gagasan utama, kejadian, peristiwa, tentang seperangkat tindakan/interaksi atau yang teratur, atau berhubungan. Untuk mengidentifikasi fenomena dilakukan dengan mengajukan pertanyaan: “Data ini mengacu kepada hal apa ?” “Tindakan atau interaksi itu tentang hal apa ?”
2)      Kondisi Sebab Akibat
Istilah ini mengacu kepada peristiwa atau kejadian yang mengarah pada terjadinya atau perkembangan suatu fenomena. Sebagai misal, apabila kita tertarik dengan fenomena rasa sakit, kita mungkin menemukan bahwa rasa sakit itu disebabkan oleh kaki patah atau sakit encok. Kejadian seperti itu menyebabkan atau membawa pengalaman rasa sakit. Dengan “Model Hubungan”, pengalaman rasa sakit dapat digambarkan sebagai berikut:
Kondisi Sebab Akibat                                    
Kaki patah atau menderita                              Fenomena sakit
Encok
Selanjutnya kita dapat lebih spesifik mendiskripsikan kondisi sebab akibat kaki patah, yaitu mengidentifikasi ciri-cirinya dan lokasi dimensional dari ciri-ciri tersebut. Kondisi kaki patah tersebut misalnya keretakannya lebih dari satu, misalnya ada dua, dan salah satu keretakannya lebih serius. Selanjutnya penderita kaki patah tersebut ternyata misalnya tidak mengalami kelumpuhan, sehingga sistem syarafnya tetap berfungsi. Dengan demikian dapat dibedakan bagian kaki yang mana yang lebih serius atau lebih terasa sakit. Ini berarti kita dapat melihat ciri-cirinya serta dimensi khusus dari kondisi sebab akibat kaki patah. Secara singkat kondisi sebab akibat kaki patah tersebut dapat dikemukakan ciri-cirinya, yaitu: keretakannya banyak (lebih dari satu), ternyata keretakannya ada 2 misalnya, jadi bersifat ganda dan ternyata misalnya ada bagian kaki yang retak mempunyai rasa sakit yang lebih serius. Dan dapat digambarkan pula dimensinya misalnya intensitasnya tinggi, durasinya terus menerus, lokasinya kaki bagian bawah. Sehingga apabila digambarkan didapatkan diagram sebagai berikut:
Fenomena Sakit
 
Kondisi Sebab Akibat                         
Kaki Patah                                         
Ciri Kaki Patah                                   Dimensi Khusus Rasa Sakit
- Keretakan yang banyak                    intensitas         tinggi
- Keretakan ganda                               durasi              terus menerus
- Adanya rasa sakit                             lokasi               kaki bagian bawah
3)      Konteks
Sebuah konteks merepresentasikan serangkaian ciri khusus yang berkenaan dengan fenomena, yaitu lokasi kejadian yang berkaitan dengan fenomena sepanjang rentang dimensional. Konteks pada waktu yang sama juga merupakan seperangkat kondisi khusus yang di dalamnya terdapat tindakan/strategi interaksi digunakan untuk mengatur, menangani, menjalankan dan merespon fenomena khusus.
Untuk menjelaskan masalah konteks ini mari kita kembali pada contoh kaki patah. Kaki patah menunjuk rasa sakit. Apabila kita hanya mengetahui hal itu saja atau apabila pengetahuan kita terbatas pada hal itu saja maka kita mengalami kesulitan untuk mengobatinya. Kita harus mengetahui sebab-sebabnya sehingga kaki menjadi patah, demikian seluk beluk rasa sakitnya agar dapat ditangani. Demikian pula dengan kaki yang patah, kita perlu mengetahui secara khusus kapan kaki itu patah, bagaimana patahnya yaitu jumlah dan jenis keretakannya. Tentang rasa sakit, kita perlu tahu bagian mana yang lebih serius rasa sakitnya, bagaimana kronologisnya, durasinya, lokasinya, intensitasnya dan lain sebagainya.
Hal tersebut apabila disusun dalam diagram adalah sebagai berikut:
Kondisi Sebab Akibat              Fenomena
- Kaki Patah                            Rasa sakit
Ciri Kaki Patah                       Dimensi-dimensi Khusus dari Rasa Sakit
- Keretakan yang banyak        intensitas         tinggi
- Keretakan ganda                   durasi              terus menerus
- Adanya rasa sakit                 lokasi               kaki bagian bawah
- Patah dua jam lalu                kronologi         lebih awal
- Jatuh dijalan yang licin         memperoleh bantuan segera
Konteks Penanganan Rasa Sakit
Dalam kondisi dimana rasa sakit:
Terus menerus, intensitas tinggi, berada di kaki bagian bawah, lebih awal dirasakan, dan bantuan didapatkan segera;
4)      Kondisi yang mempengaruhi
Kondisi ini berfungsi untuk memperlancar atau menghambat tindakan/strategi interaksi yang dilakukan dalam konteks yang khusus. Contoh kondisi yang mempengaruhi dapat dilihat dalam uraian berikut: Anda sakit dan membutuhkan pengobatan, tetapi hanya dapat diperoleh pada Rumah Sakit yang jaraknya jauh. Ini berarti anda tidak dapat segera mendapatkan pengobatan, anda harus berpacu untuk mendapatkan pengobatan dengan jarak yang jauh. Kondisi intervening berkaitan dengan tindakan/strategi interaksi. Kondisi dapat dalam bentuk: waktu, ruang, budaya, status ekonomi, karir, sejarah, riwayat hidup individu. Kondisi-kondisi memiliki rentangan dari yang paling dekat atau pendek sampai dengan yang paling jauh atau panjang.
Sebagai contoh orang yang kakinya patah. Orang tadi berada di hutan dan misalnya dia seorang diri tanpa adanya teman, kondisi seperti ini tentu akan sangat berbeda dalam waktu untuk mendapatkan pengobatan dibandingkan dengan orang yang berada dikota. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu ciri-cirinya misalnya tentang biodata seperti: umur, penyakit lain yang pernah dialami atau sedang dialami, sejarah penyakit yang pernah dialami, pandangannya/persepsinya mengenai perasaan sakitnya dan pengobatannya. Juga ciri tentang cara/teknik pengobatan yaitu peralatan yang tersedia, prosedur pengobatannya, obat yang tersedia, dan seterusnya.
Tidak semua kondisi dapat diterapkan untuk setiap situasi. Terserah kepada peneliti untuk mengidentifikasi yang mana yang akan digunakan dan dirangkai dalam analisis, yang penting untuk diingat apakah kondisi itu memperlancar atau menghambat tindakan/strategi interaksi, dan kapan tindakan/strategi interaksi itu dilakukan.
Dari uraian tersebut di atas, yaitu proses dari kondisi sebab akibat, fenomena, ciri-ciri (kaki patah) atau konteks, dimensi khusus, kemudian kondisi intervening (kondisi yang memfasilitasi atau menghambat) apabila digambarkan dalam skema/”Model Hubungan” adalah sebagai berikut:
5)      Strategi Tindakan / Strategi Interaksi
Pada dasarnya Grounded Theory merupakan metoda penyusunan teori yang berorientasi pada tindakan/interaksi. Tindakan/interaksi memiliki sejumlah ciri, yaitu:
a)      Tindakan/interaksi itu merupakan suatu proses yang bergerak secara alamiah. Jadi dapat dipelajari berdasarkan urutan, atau berdasarkan geraknya atau perubahannya pada setiap saat.
b)      Tindakan/interaksi berorientasi pada tujuan atau mempunyai tujuan dan dilakukan berdasarkan beberapa alasan untuk merespon atau menangani fenomena.
c)      Tindakan/interaksi pada dasarnya merupakan strategi sehingga disebut sebagai tindakan/strategi interaksi, dan bertujuan untuk merespon atau menangani fenomena. Apabila tindakan/ interaksi ini gagal, misalnya tidak merespon fenomena, tindakan/ interaksi ini tetap penting. Misalnya seseorang yang seharusnya melakukan suatu tindakan misalnya mencari Rumah Sakit atau dokter untuk mengobati penyakitnya tetapi tidak melakukan, perlu dipertanyakan, mengapa ia tidak melakukannya.
Apabila proses ini digambarkan dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut:
Kondisi Sebab Akibat              Fenomena
- Kaki Patah                            Rasa sakit
Ciri Kaki Patah                                   Dimensi Khusus dari Rasa Sakit
- Keretakan yang banyak   intensitas                          tinggi
- Keretakan ganda              durasi                               terus menerus
- Adanya rasa sakit            lokasi                                kaki bagian bawah
- Patah dua jam lalu           kronologi                          lebih awal
- Jatuh di hutan           bantuan yang diperoleh          menunggu lama
                                        potensi adanya konsekuensi   tinggi
Konteks Penanganan Rasa Sakit
Kondisi di mana sakit adalah:
- Intensitas tinggi, terus menerus, berlokasi di kaki bagian bawah, lebih awal dirasakan, bantuan didapatkan lama, dan potensi konsekuensi tinggi.
Strategi untuk Penanganan Sakit
-    Membalut kaki
-    Pergi untuk meminta bantuan darurat
-    Menjaga agar orang itu tetap hangat
Kondisi Intervening
-    Kurang pelatihan pada pertolongan pertama
-    Tidak ada selimut
-    Jaraknya jauh untuk meminta bantuan
Dari uraian tersebut di atas, yaitu proses dari kondisi sebab akibat, fenomena, ciri-ciri (kaki patah) atau konteks, dimensi khusus, kemudian tindakan/strategi interaksi, dan kondisi intervening (kondisi yang memfasilitasi/yang menghambat).
Dalam term tersebut terlihat dengan jelas strategi tindakan yang diambil menghadapi kondisi sakit yang mempunyai intensitas tinggi, terus menerus, berlokasi di kaki bagian bawah, lebih awal dirasakan dan seterusnya adalah dengan melakukan: membalut kaki, pergi meminta bantuan darurat, mempertahankan agar orang tersebut tetap hangat.
Dengan kondisi tersebut di atas terdapat adanya petunjuk-petunjuk tertentu tentang beberapa strategi, yaitu aksi yang berdasarkan pada kata kerja atau prinsip-prinsip. Hal ini dapat dilihat dari contoh berikut. Contoh seandainya seseorang melakukan penelitian tentang alur kerja (work flow) dalam suatu unit Rumah Sakit dan bagaimana peran Kepala Perawat untuk menjaga alur kerja agar berjalan sebagaimana mestinya, kita lihat hal berikut dalam data kita:
Ketika terjadi konflik yang cukup parah di antara petugas shift malam, dan konflik itu cukup mengganggu kinerja (performance) petugas, lalu saya datang pada malam itu dan bekerja dengan petugas shift malam sebentar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Contoh tersebut merupakan suatu fenomena, yaitu alur kerja (work flow), yang terganggu oleh adanya konflik (konteks), dan Kepala Perawat yang datang untuk bekerja pada shift malam, sehingga ia dapat mengetahui apa yang sedang terjadi (ini merupakan tindakan/ strategi untuk merespon alur kerja yang terganggu).
6)      Konsekuensi
Tindakan atau interaksi yang diambil untuk merespon atau menangani suatu fenomena akan mendapatkan hasil atau konsekuensi. Hal ini mungkin tidak selalu dapat diprediksi. Kegagalan mengambil tindakan atau interaksi juga mendapat hasil atau konsekuensi walaupun mungkin negatif.
Konsekuensi mungkin menjadi aktual tetapi juga menjadi potensial, dapat terjadi pada waktu sekarang atau waktu yang akan datang. Konsekuensi dari seperangkat tindakan mungkin menjadi bagian dari konteks atau kondisi intervening, yang mempengaruhi serangkaian tindakan/ interaksi berikutnya.
Contoh tentang kaki patah yang dialami dalam hutan, dan dia bersama-sama dengan teman-teman yang telah mendapatkan pelatihan tentang pertolongan pertama, kemudian teman-temannya menyangga kakinya, membalutnya, selanjutnya pergi minta bantuan. Konsekuensi dari strategi tindakan tersebut dapat mengurangi rasa sakitnya.
c)   Menghubungkan kategori dengan kategori yang lain
Selanjutnya akan diuraikan bagaimana cara menghubungkan suatu kategori dengan kategori lainnya. Untuk mengetahui hubungan kategori satu dengan kategori lain, si peneliti perlu mengajukan pertanyaan, misalnya: Apakah kategori pengurangan rasa sakit berhubungan dengan rasa sakit sebagai konsekuensi strategi tindakan yang diambil untuk mengobati rasa sakit ? Pertanyaan ini tidak mengarah ke coding terhadap peristiwa atau kejadian khusus, juga tidak mengarah ke ciri khusus atau dimensi khusus. Tetapi mengarah pada label konsep dari suatu kategori apakah berhubungan dengan label konsep kategori yang lain. Demikian pula misalnya seorang yang mempunyai penyakit encok, kemudian ia menggunakan strategi tertentu untuk menyembuhkan rasa sakitnya. Peneliti akan membuat pertanyaan: Pada kondisi rasa sakit, strategi tindakan apa yang ia gunakan untuk mengurangi rasa sakitnya.
Setelah peneliti mengajukan pertanyaan tersebut, peneliti kembali ke data untuk mengetahui secara pasti strategi tindakan untuk mengurangi rasa sakit pada penderita encok dengan melihat hasil interview, atau hasil observasi atau hasil analisis dokumen. Selanjutnya setelah dari data didapatkan strategi tindakan untuk mengurangi rasa sakit pada penderita encok, misalnya dengan pijat refleksi, maka peneliti dapat membuat pernyataan semacam hipotesis, yaitu: Apakah seseorang menderita penyakit encok, rasa sakitnya akan hilang kalau melakukan pijat refleksi.
Selanjutnya peneliti mencari bukti-bukti dengan data yang ada untuk mendukung pernyataan tersebut. Pada waktu yang sama peneliti juga mencari data-data yang tidak mendukung pernyataan tersebut. Mungkin peneliti akan mendapatkan data bahwa ada orang yang tidak melakukan apa-apa tetapi mendapatkan kesembuhan. Ada juga yang melakukan strategi yang lain di luar pijat refleksi, ternyata memperoleh kesembuhan. Tetapi ada pula yang melakukan strategi pijat refleksi ternyata tidak mendapatkan kesembuhan. Temuan-temuan tersebut tidak harus dibuang. Temuan-temuan tersebut menambahkan variasi dan pendalaman pemahaman. Walaupun data menunjukkan adanya variasi, persamaan bahkan perbedaan sehingga dihasilkan pendalaman pemahaman, tetapi tetap dapat dilihat tingkat kecenderungannya. Kesimpulan tentang strategi didasarkan pada strategi yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi.
Pada saat peneliti membandingkan peristiwa, peneliti bertujuan untuk mengetahui dimana setiap ciri dapat ditempatkan pada dimensi yang tepat. Dengan demikian peneliti akan memperoleh kepadatan konseptual dan akan dapat dihindari banyaknya variasi. Atau dengan kata lain diperoleh kepadatan konseptual, memiliki spesifikasi dan variasi yang terbatas sehingga konsep ini dapat diterapkan dalam berbagai fenomena yang ada.
Dari keseluruhan uraian tentang Axial Coding dapat disimpulkan bahwa Axial Coding merupakan proses menghubungkan subkategori dengan kategori. Proses tersebut merupakan pemikiran induktif dan deduktif yang kompleks yang terdiri dari beberapa tahap.
Hal ini dilakukan dengan membuat perbandingan dan mengajukan pertanyaan seperti pada Open Coding. Tetapi dalam Axial Coding lebih terfokus pada menemukan dan menghubungkan kategori melalui “Model Hubungan”. Dalam Axial Coding dapat dikembangkan tiap kategori (fenomena) berdasarkan hubungan sebab akibat, dapat ditempatkan lokasi dimensi khusus dari fenomena terkait dengan cirinya, konteksnya, tindakan/strategi interaksi yang digunakan untuk merespon atau mengelola fenomena, dan konsekuensi dari tindakan/strategi interaksi yang dilakukan.







f.    Pengodean Selektif (Selective Coding)
a)   Istilah-istilah yang digunakan
Sebelum uraian tentang Selective Coding akan dikemukakan beberapa definisi istilah yang dipergunakan dalam penjelasan tentang Selective Coding, yaitu:
1)      Cerita: Narasi deskriptif mengenai fenomena utama dari suatu studi (“Story: A descriptive narrative about the central phenomenon of the study”).
2)      Jalan Cerita: Konseptualisasi cerita. Ini merupakan kategori inti. (“Story Line: The conceptualization of the story. This is the core category”).
3)      Pengodean Selektif: Proses menyeleksi kategori inti, secara sistematis menghubungkannya dengan kategori yang lain, memvalidasi hubungan tersebut, dan mengisi kategori-kategori yang memerlukan perbaikan dan pengembangan lebih lanjut. (“Selective Coding: The process of selecting the core category, systematically relating it to other categories that need further refinement and development”).
4)      Kategori Inti: Fenomena inti dari semua kategori lain yang terintegrasi (“Core Category: The central phenomenon around which all the other categories are integrated”). (Strauss & Corbin, 1990: 116).
b)   Proses Pengodean
Dalam uraian tentang Proses Pengodean masalah Cerita (Story) dan Jalan Cerita (Story Line) tidak diuraikan karena sudah terintegrasi dalam uraian Proses Pengodean.
Tujuan dari Selective Coding adalah mengintegrasikan kategori untuk membentuk sebuah grounded theory. Pekerjaan tersebut cukup sulit tetapi tidak berarti tidak dapat dikerjakan. Pengintegrasian kategori pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan Axial Coding, hanya dalam melakukan analisis, tingkat keabstrakannya lebih tinggi. Sebenarnya dalam Axial Coding dibangun dasar atau patokan bagi Selective Coding. Dengan telah dilakukan Axial Coding kategori telah disusun berdasarkan ciri-ciri dan dimensi-dimensinya, yang tersusun dalam “Model Hubungan”, sehingga memberikan kepadatan dan kekayaan kepada kategori. Selanjutnya dapat disusun konsep-konsep dengan menghubungkan kategori-kategori berdasarkan pertanyaan: “Apa yang sedang dikaji ?, Apa yang ditemukan ?, Kesimpulan apa yang dapat ditarik ? Dari konsep-konsep yang disusun dengan menggunakan dasar pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dihasilkan grounded theory.
Sebagai ilustrasi tentang prosedur yang harus ditempuh akan diberikan contoh sebagai berikut: Studi ini terfokus pada bagaimana 20 orang wanita dengan penyakit kronis menangani kehamilannya. Mereka akan diwawancarai sejak awal kehamilannya sampai dengan 6 (enam) minggu setelah kelahiran. Wawancara terstruktur sebanyak 4 (empat) sampai 5 (lima) kali untuk setiap wanita. Wawancara dilakukan setiap 3 (tiga) bulan selama kehamilan, kemudian wawancara juga dilakukan setiap minggu selama 6 (enam) minggu setelah kelahiran. Dan diakhiri 1 (satu) kali wawancara pada 6 (enam) minggu setelah kelahiran. Disamping itu sebagai tambahan juga dilakukan wawancara informal pada waktu menunggu kelahiran. Apabila suami hadir pada waktu wawancara, suami juga diwawancarai dan diobservasi. Apabila mungkin, peneliti juga menemani wanita-wanita tersebut. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa penyakit yang diderita wanita-wanita hamil tersebut, di antaranya: diabetes, lever, ginjal, hipertensi. Beberapa wanita mengalami kombinasi beberapa penyakit dan kronis, seperti diabetes dengan ginjal. Seorang wanita mengalami transpalansi ginjal. Peneliti melakukan kajian apakah kombinasi beberapa penyakit kronis menyebabkan tingginya resiko kehamilan. Apakah wanita-wanita hamil tersebut dirinya sendiri memainkan peran aktif menangani resiko kehamilan ?.
Sebagai telah dikemukakan di depan bahwa tujuan Selective Coding adalah mengintegrasikan kategori ke dalam kategori inti dengan melakukan analisis yang tingkat keabstrakannya lebih tinggi. Dengan Axial Coding, kategori-kategori telah disusun berdasarkan ciri-ciri dan dimensinya, yang tersusun dalam “Model Hubungan”, sehingga memberikan kepadatan dan kekayaan kepada kategori. Selanjutnya dapat disusun konsep-konsep dengan menghubungkan kategori-kategori berdasarkan pertanyaan: “Apa yang sedang dikaji ?, Apa yang ditemukan?, Kesimpulan apa yang dapat ditarik ?, Dari konsep-konsep yang disusun dengan menggunakan dasar pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dihasilkan grounded theory.
Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana cara mengintegrasikan kategori-kategori ke dalam kategori inti. Secara singkat yaitu dengan cara melakukan konseptualisasi dengan analisis yang tingkat keabstrakannya lebih tinggi. Untuk itu peneliti pertama-tama perlu menyusun suatu catatan atau memo yang berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan: “Apa yang menonjol dari hasil kajian atau penelitian ini ?“ “Mana yang oleh peneliti dianggap menjadi masalah utama ?”. Akan diberi contoh tentang wanita hamil yang mempunyai penyakit kronis. Dari hasil menyusun kategori-kategori berdasarkan “Model Hubungan”, yang dilanjutkan dengan menyimpulkan kondisi, tindakan/strategi dalam penanganan kondisi, dan konsekuensi dari adanya strategi yang diambil, peneliti membuat catatan atau memo yang berisi rangkaian hubungan kategori sebagai berikut:
“Tiap-tiap kehamilan yang ditangani dari resiko atas kehamilan atau penyakit yang dideritanya, berarti hal ini dipedulikan, dan apabila tidak ditangani berarti tidak dipedulikan. Wanita-wanita yang menangani resiko atas kehamilan dan penyakitnya bertujuan mendapatkan bayi yang sehat. Hasil yang diinginkan yaitu melahirkan bayi sehat tampaknya menjadi kekuatan utama yang memotivasi mereka untuk melakukan apapun yang perlu untuk meminimalkan resiko. Namun, mereka bukanlah penerima layanan yang pasif, tetapi mereka memainkan peran penting dalam proses penanganan resiko. Mereka tidak hanya bertanggung jawab untuk memantau kehamilan dan penyakitnya, tetapi juga memutuskan untuk menentukan cara hidup (regimens) yang harus diikuti. Mereka juga mempertimbangkan bahaya atau akibat pada bayi yang disebabkan minum obat tertentu dengan dosis yang tinggi selama kehamilan. Mereka berusaha membuat keputusan yang benar dengan mempertimbangkan secara hati-hati tentang resiko yang mungkin timbul. Jika mereka berpikir dokter membuat keputusan yang salah, mereka melakukan apa yang mereka pikir seharusnya dilakukan”.
Catatan atau memo yang dibuat oleh peneliti tersebut merupakan fenomena yang menonjol yang disimpulkan dari hasil wawancara dan observasi. Selanjutnya dari deskripsi tersebut kemudian dilakukan konseptualisasi (analisis dengan tingkat abstraksi yang lebih tinggi). Dengan melakukan analisis untuk mendapatkan konsep yang memiliki tingkat abstraksi yang lebih tinggi, peneliti mendapatkan konsep yang diberi nama “Penanganan Protektif” (“Protective Governing”). Penanganan (Governing) berarti ibu yang hamil dan berpenyakit melakukan tindakan untuk mengontrol resiko yang berkaitan dengan kehamilannya. Protektif (Protective) mengindikasikan bahwa tindakan-tindakan itu bertujuan memberikan perlindungan. Penentuan kategori inti ini penting untuk menemukan apakah ada wanita yang tidak melakukan penanganan protektif. Tetapi dalam penelitian tersebut tidak ditemukan adanya wanita yang tidak melalukan penanganan protektif.
Bagaimana cara melakukan konseptualisasi apabila ditemukan dua fenomena yang sama pentingnya. Bagaimana cara mengintegrasikan dua kategori sehingga tercapai integrasi kategori yang kuat dan pengembangan kategori yang padat yang diperlukan untuk menyusun grounded theory. Untuk mengembangkan dua kategori inti yang sama pentingnya, dan mengintegrasikan keduanya, dan mendeskripsikan secara jelas dan teliti memang merupakan sesuatu yang tidak mudah. Hal ini juga dialami oleh peneliti yang sudah berpengalaman. Cara yang dapat dilakukan adalah memilih salah satu kategori inti, dan menempatkan kategori inti yang lain sebagai cabang kategori (a subsidiary category), kemudian menguraikan sebagai teori kedua.
Sebagai contoh dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Strauss & Corbin, terdapat 2 (dua) fenomena yang muncul secara signifikan. Satu fenomena adalah adanya penyakit yang kronis dari wanita yang hamil, tetapi penanganannya dilakukan oleh suami. Sedang fenomena yang kedua adalah dampak kegagalan penanganan pada biodata (kondisi biologi) pada wanita hamil yang berpenyakit tadi. Pada waktu melakukan integrasi dua kategori inti tersebut, pertama diputuskan untuk memfokuskan pada masalah penyakit dan penanganannya, kedua kategori inti tentang kondisi fisik sebagai dampak kegagalan penanganan dijadikan konsep sekunder yaitu konsep tentang cara-cara penanganan dan dampak-dampak yang diakibatkan dari cara-cara penanganan.
Untuk mendapatkan gambaran konkret bagaimana dua kategori inti diintegrasikan, berikut ini akan diberikan contoh dengan cerita sebagai berikut: “Apabila seorang wanita hamil dan memiliki penyakit kronis akan mempengaruhi kehamilannya. Ini menyebabkan timbulnya resiko baik bagi wanita tersebut maupun bayinya. Dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun yang lalu, wanita hamil yang mengalami diabetes, gangguan ginjal akan sangat beruntung apabila dapat melahirkan dengan selamat. Kondisi sekarang dengan kemajuan teknologi kedokteran, wanita hamil yang mengalami penyakit kronis, dapat disembuhkan sehingga tidak mengganggu kehamilannya. Wanita tadi dengan kemajuan teknologi dapat disembuhkan dari penyakitnya, dan dapat dijaga keselamatan bayi hingga dilahirkan. Pada dasarnya semakin parah penyakitnya, semakin sulit menanganinya, dan semakin besar pula resiko yang menyertainya. Yang menarik untuk dicatat ternyata wanita tadi tidak hanya mengumpulkan isyarat (cue) dari dokter, tetapi juga dari pengalamannya masa lalu dengan penyakit dan kehamilannya. Mereka juga memperhatikan janinnya sendiri, menafsirkan gerakan dalam perutnya dan memperkirakan pertumbuhan bayinya sebagai yang mereka rasakan. Semua itu merupakan data untuk memperkirakan tingkat resiko yang mungkin dihadapi. Wanita hamil tidak hanya mempertimbangkan resiko pada bayi, tetapi juga pada dirinya sendiri. Misalnya ia mendapatkan obat dengan dosis yang terlalu tinggi atau rendah, maka ia akan melakukan negosiasi dengan dokter untuk mengubah obatnya. Apabila negosiasi tidak berhasil ia akan meninggalkan rumah sakit, atau melawan nasehat medis, dan menyelamatkan bayinya dan dirinya dengan caranya sendiri.
Penanganan terhadap kondisi hamilnya dan penyakit kronis yang diderita merupakan tugas wanita yang hamil tersebut dan tim kesehatannya. Dengan memasukkan tim kesehatan ke dalam sistem perawatan kesehatannya, berarti ia mendelegasikan sebagian dari fungsi penanganan kepada dokter yang merawatnya termasuk kegiatan diagnosis dan penentuan perawatan. Dalam strategi penanganan, dokter berfungsi sebagai pengawasan terhadap resiko yang dapat timbul. Strategi penanganan bertujuan mengawasi resiko fisik baik pada bayi maupun wanitanya sendiri, termasuk ketakutan psikologis. Ayah dari bayi juga mempunyai peranan dalam penanganan resiko, walaupun perannya tidak langsung, tetapi hanya sebagai pendukung. Ia hadir pada waktu wanita tersebut memeriksakan kehamilannya, atau pada waktu keputusan harus diambil. Kadang-kadang resiko tidak dapat dihindari, walaupun ibu dan tim kesehatan telah bekerja keras, tetapi bayi lahir meninggal misalnya karena terjadi komplikasi kandungan.
Dengan cerita di atas dapat disusun kategori. Apabila tidak disusun kategori, maka tetap hanya menjadi daftar masalah. Kategori yang muncul dari cerita tadi adalah:
-          Faktor resiko (sumber resiko). Kategori ini disimpulkan dari hubungan antara kehamilan dengan penyakit, yang dipandang dapat menimbulkan resiko. Sehingga hal ini menyebabkan kebutuhan jenis penanganan khusus yang dinamakan Penanganan Protektif (Protective Governing).
-          Konteks resiko. Kategori ini diidentifikasi sebagai kondisi yang mengarah pada tindakan. Seperti dalam pengodean axial, konteks resiko disimpulkan dari interaksi ciri-ciri dalam penanganan protektif. Konteksnya bervariasi menurut rangkaian dimensi atau kombinasi dari tingkat resiko dengan keadaan kehamilan atau penyakit.
-          Penafsiran suatu tindakan. Kategori ini merupakan kondisi intervening antara penanganan protektif dan konteks resiko. Ini merupakan penafsiran terhadap isyarat sebagai sarana yang digunakan oleh wanita untuk menjelaskan tingkat resiko dari kehamilannya. Mereka harus mengumpulkan informasi mengenai faktor resiko khusus yang dihadapi, dan keakuratan informasi yang dikumpulkan berdasarkan pengetahuan, pengalaman kehamilan sebelumnya, penafsiran kejadian-kejadian selama pemeriksaan sebelum kelahiran.
-          Pengawasan merupakan strategi yang digunakan wanita hamil untuk menangani baik resiko fisik maupun psikologis yang menyertai kehamilannya. Walaupun penanganan resiko kehamilan dapat melibatkan tim kesehatan dan wanita yang hamil itu sendiri, tetapi dalam contoh ini hanya membahas peran wanita yang hamil itu sendiri. Kondisi intervening antara penanganan resiko dengan pengawasan itu penting karena pilihan perawatan selalu terkait dengan keinginan untuk melahirkan bayi yang sehat. Di sini perlu adanya keseimbangan antara pilihan perawatan dengan teknologi yang tersedia, ada tidaknya dokter ahli, dan banyak kondisi intervening yang lain, misalnya pengalaman dengan penyakit. Kategori hasil penanganan resiko berarti sama dengan konsekuensi atau hasil akhir dari strategi pengawasan, yaitu meniadakan faktor-faktor resiko yang ada, sehingga dapat mencapai kelahiran bayi yang sehat.
Uraian tersebut apabila diurutkan adalah sebagai berikut:
Faktor resiko yang berasosiasi dengan kehamilan dan penyakit kronis à menimbulkan kebutuhan penanganan protektif.
Penanganan protektif dilakukan dengan: - Penafsiran terhadap makna konteks resiko, yang disusun berdasarkan: - Motivasi, Keseimbangan + Kondisi intervening lain à mengarah pada Strategi atas pengawasan resiko à menghasilkan penyelesaian resiko.
Dari uraian tersebut di atas, yaitu dari adanya faktor/sumber resiko yang berasosiasi dengan kehamilan dan penyakit kronis menimbulkan kebutuhan penanganan protektif. Penanganan protektif ini dilakukan dengan penafsiran makna resiko yang berdasarkan: - Motivasi (melahirkan dengan selamat).
        Keseimbangan (kebutuhan perawatan dengan teknologi yang tersedia), dan kondisi intervening lain misalnya pengalaman melahirkan, akan menghasilkan strategi pengawasan resiko untuk meniadakan faktor-faktor resiko sehingga dapat dihasilkan penyelesaian resiko yaitu ibu melahirkan dengan selamat dengan bayi yang sehat. Apabila digambarkan dengan bagan adalah sebagai berikut:




Penalaran Induktif

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.Ada dua jenis metode dalam menalar yaitu induktif dan deduktif.
Metode induktif
Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.
Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti.
Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.

Metode deduktif
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh: Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.

Generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak dari fenomena individual menuju kesimpulan umum.
Contoh:
Tamara Bleszynski adalah bintang iklan, dan ia berparas cantik.
Nia Ramadhani adalah bintang iklan, dan ia berparas cantik.
Generalisasi: Semua bintang sinetron berparas cantik

Pernyataan “semua bintang sinetron berparas cantik” hanya memiliki kebenaran probabilitas karena belum pernah diselidiki kebenarannya.
Contoh kesalahannya:
Omas juga bintang iklan, tetapi tidak berparas cantik.

Macam-macam generalisasi
Generalisasi sempurna
Adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Contoh: sensus penduduk

Generalisasi tidak sempurna
Adalah generalisasi dimana kesimpulan diambil dari sebagian fenomena yang diselidiki diterapkan juga untuk semua fenomena yang belum diselidiki.
Contoh: Hampir seluruh pria dewasa di Indonesia senang memakai celana pantalon.

Prosedur pengujian generalisasi tidak sempurna
Generalisasi yang tidak sempurna juga dapat menghasilkan kebenaran apabila melalui prosedur pengujian yang benar.
Prosedur pengujian atas generalisasi tersebut adalah:
1. Jumlah sampel yang diteliti terwakili.
2. Sampel harus bervariasi.
3. Mempertimbangkan hal-hal yang menyimpang dari fenomena umum/ tidak umum.

Pengertian Paragraf Induktif
Paragraf Induktif merupakan paragraf yang dimulai dengan menyebutkan peristiwa-peristiwa yang khusus, untuk menuju kepada kesimpulan umum, yang mencakup semua peristiwa khusus.

Indikator Paragraf Induktif :
  • Menemukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
  • Menemukan kalimat penjelas yang mendukung gagasan utama
  • Menuliskan kesimpulan paragraf induktif

Ciri-ciri Paragraf Induktif :
  • Terlebih dahulu menyebutkan peristiwa-peristiwa khusus
  • Kemudian, menarik kesimpulan berdasarkan peristiwa-peristiwa khusus
  • Kesimpulan terdapat diakhir paragraf

Mencari Kalimat utama, Gagasan utama dan Kalimat penjelas :
  • Kalimat utama paragraf induktif terletak diakhir paragraf
  • Gagasan utama terdapat pada kalimat utama
  • Kalimat penjelas terletak sebelum kalimat utama, yakni yang mengungkapkan peristiwa-peristiwa khusus
  • Kalimat penjelas merupakan kalimat yang mendukung gagasan utama

Jenis-jenis Paragraf Induktif :
  • Generalisasi
  • Analogi
  • Sebab akibat
    1. Sebab akibat
    2. Akibat sebab
    3. Sebab akibat 1 akibat 2

Tiga Contoh Paragraf Induktif :
Paragraf Induktif Generalisasi :Setelah karangan anak-anak kelas 3 diperiksa, ternyata Ali, Toto, Alex dan Burhan mendapat nilai8. Anak-anak yang lain mendapat 7. Hanya Maman yang 6, dan tidak seorangpun mendapat nilai kurang. Boleh dikatakan, anak kelas 3 cukup pandai mengarang.   A.S.Broto (ed.).

Paragraf Induktif Analogi :Sifat manusiai barat padi yang terhampar disawah yang luas. Ketika manusia itu meraih kepandaian, kebesaran dan kekayaan, sifatnya akan menjadi rendah hati dan dermawan. Begitu pula dengan padi yang semakin berisi, ia akan semakin merunduk. Apabila padi itu kosong, ia akan berdiri tegak.

Parahraf Induktif Sebab Akibat :Kemarau tahun ini cukup panjang. Sebelumnya, pohon-pohon di hutan sebagai penyerap air banyak yang di tebang. Disamping itu, irigasi di desa ini tidak lancar. Ditambah lagi dengan harga pupuk yang semakin mahal dan kurangnya pengetahuan para petani dalam menggarap lahan pertaniannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan panen di desa ini selalu gagal.

PENALARAN INDUKTIF

Penalaran Induktif

Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Induksi pada pengertian tradisional dipisahkan secara rigid dari deduksi untuk menunjuk pada suatu metode saintifik yang berupaya tiba pada konklusi melalui bukti-bukti (evidences) partikular mengenai dunia. Dalam sains, akumulasi bukti-bukti (evidences) bermakna derajat tertentu terhadap sokongan munculnya hipotesis, kalau bukan konklusi. Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.

Contoh:

Jika dipanaskan, besi memuai.
Jika dipanaskan, tembaga memuai.
Jika dipanaskan, emas memuai.
Jika dipanaskan, platina memuai.
Jika dipanaskan, logam memuai.
Jika ada udara, manusia akan hidup.
Jika ada udara, hewan akan hidup.
Jika ada udara, tumbuhan akan hidup.
Jika ada udara mahkluk hidup akan hidup.
Pengertian penalaran
Penalaran Induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.

2.Pengertian penalaran induktif
Penlaran induktif adalah proses penalaran untuk manari kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta – fakta yang bersifat khusus.

3.Macam – macam penalaran induktif
3.1 Generalisasi
Pengertian Generalisasi
Generalisasi adalah pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar gejala yang diminati generalisasi mencakup ciri – ciri esensial, bukan rincian.

Macam – macam Generalisasi
a.Generalisasi sempurna
Generalisasi sempurna adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki. Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan amat kuat dan tidak dapat diserang. Tetapi tetap saja yang belum diselidiki.
Contoh : sensus penduduk.

b.Generalisasi tidak sempurna
Generalisasi tidak sempurna adalah generalisasi berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Contoh : Hampir seluruh pria dewasa di Indonesia senang memakai celana pantalon.

3.2 Analogi
Pengertian Analogi
Analogi adalah proses penyimpulan berdasarkan fakta atau kesamaan data.
Tujuan Analogi
Tujuan dari Analogi ada 3 yaitu :
-untuk meramalkan kesamaan
-untuk mengadakan klasifikasi
-untuk menyikapkan kekeliruan / membuka suatu pendapat yang keliru
Contoh :
Kita banyak tertarik dengan planel mars, karena banyak persamaannya dengan bumi kita. Mars dan Bumi menjadi anggota tata surya yang sama. Mars mempunyai atsmosfir seperti bumi. Temperaturnya hampir sama dengan bumi. Unsur air dan oksigennya juga ada. Caranya mengelilingi matahari menyebabkan pula timbulanya musim seperti bumi. Jika bumi ada mahluk. Tidaklah mungkin ada mahluk hidup diplanet Mars.

3.3 Kausal
Pengertian Kausal
Kausalitas adalah hubunga sebab akibat dimulai dari beberapa fakta yang kita ketahui. Dengan menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain, kesimpulan yang menjadi sebab dari fakta itu atau dapat juga kita sampai kepada akibat fakta itu.
Contoh :
Belajar menurut pandangan tradisional adalah usaha untuk memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan. “pengetahuan” mendapat tekanan yang penting, oleh sebab itu pengetahuan memegang peranan utama dalam kehidupan manusia. Pengetahuan adalah kekuasaan. Siapa yang memiliki pengetahuan, ia yang memegang kuasa dan bias memerintah orang lain untuk menurutinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar