Kamis, 31 Januari 2013

PENDIDIKAN ANAK DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN MUHAMMAD QUTHUB



Penulis : Isro, M.Ag.
Dosen STKIP Islam Bumiayu

Abstraksi :
Anak adalah sosok pribadi yang sangat lemah, dan memerlukan bantuan, bimbingan serta pendidikan dari orang tuanya. Pendidikan dan bimbingan merupakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah SWT. kepada kedua orang tuanya. Namun pendidikan dan bimbingan terhadap seorang anak akan berhasil dengan baik bila orang tua memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang perkembangan anak itu sendiri.
Islam memandang anak tidak terlepas dari fitrah itu sendiri. Memandang anak secara lebih riil dan lebih proporsional, artinya seoarang anak tidak dilepaskan dari dunianya, dimensinya serta prospeknya. Pandangan pertama, keanakan merupakan suatu tahapan dalam perkembangan manusia. Kehidupan dan perkembangan anak dilihat dalam rentang historisnya. Maka dalam mendidik seorang anak harus diperhatikan tahapan-tahapan perkembangannya anak itu sendiri. Baik tahapan-tahapan perkembangan biologis maupun psikologisnya. Pandangan kedua, menurut Islam, anak itu merupakan amanah Allah SWT. yang dititipkan kepada kedua orang tuanya. Pandangan ini menyiratkan adanya keterpautan eksistensi anak dengan al-Khaliq maupun kedua orang tuanya.
Berdasarkan fenomena di atas, seorang pemikir muslim yang sangat kompeten terhadap pendidikan anak, yang bernama Muhammad Quthub, mencoba merumuskan sebuah formulasi tentang pendidikan anak dari  persfektif Islam. Dalam merumuskan pemikirannya, ia berangkat dari sebuah keyakinan bahwa anak dilahirkan tidak dalam keadaan lengkap dan tidak pula dalam keadaan kosong. Ada dua hal yang melekat pada dunia anak sejak kelahirannya, pertama anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, yang dengan fitrah tersebut anak mempunyai kecenderungan untuk mengesakan Allah SWT, disamping kecenderungan untuk mengembangkan pembawaan atau bakat yang dimilikinya. Kedua, anak dilahirkan pada sebuah lingkungan yang dapat mempengaruhi kecenderungan atau faktor eksternal yang dimilikinya.
Pemikiran Muhammad Quthub tentang pendidikan anak berangkat dari sebuah tujuan yang utama, yaitu hendak mengarahkan dan membentuk seorang anak yang berpredikat “waladun shalihun” yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, dan untuk membentuk kearah itu tidak mudah, akan tetapi perlu keseriusan para orang tua dalam mendidiknya. Menurutnya pendidikan anak harus dilakukan secara menyeluruh, yaitu meliputi aspek jasmaniah, intelektual dan rahaniah, jadi pendidikan anak tidak bisa dilepaskan dari ketiga aspek tersebut. Selanjutnya perkembangan anak dari pra-kelahiran, pasca kelahiran sampai menjelang usia remaja (pubertas) merpakan tahapan perkembangan yang harus diperhatikan dan difahami oleh para orang tua.
Dengan mengkaji pemikiran Muhammad Quthub ini, orang tua dan para pendidik dapat mengikuti langkah-langkah dan pedoman pendidikan anak secara Islami. Oleh karena itu pemikiran Muhammad Quthub ini, seharusnya tidak difahami dalam tataran teoritis saja, akan tetapi dapat diterapkan dalam tataran praktis, khususnya bagi orang tua atau para pendidik yang hendak mendidik anak secara benar dan diridlai oleh Allah SWT.

A.  Latar Belakang Masalah
Pendidikan sangat penting bagi perkembangan psikologi dan tingkah laku seorang anak. Anak yang baik merupakan dambaan dari setiap orang tua. Namun untuk menciptakan anak yang shaleh, yang hidupnya berkemampuan, berguna serta bahagia di dunia dan akherat tidaklah mudah. Rasa sayang terhadap anak tidaklah cukup untuk mencetak seorang anak yang sesuai dengan seperti apa yang diharapkan, karena kasih sayang orang tua yang berlebihan justru akan menjerumuskan anak itu sendiri.
Berkaitan dengan hal ini, para pakar ilmu pendidikan modern mencoba mengemukakan berbagai teori untuk menyelamatkan anak agar menjadi sosok individu yang sesuai dengan harapan.
Diantara tokoh pemikir muslim kontemporer yang mencoba memformulasikan metode pandidikan anak secara Islami adalah Muhammad Quthub, seorang profesor yang begitu besar perhatiannya terhadap dunia pendidikan umat Islam. Diantaranya yaitu perhatian terhadap pentingnya pendidikan anak yang Islami sejak dini. Dimana --menurut Muhammad Quthub-- pendidikan ini tidak hanya dimulai sesudah kelahiran akan tetapi dimulai sejak pranatal (sebelum anak lahir) sampai masa pubertas (menginjak usia 15 tahun). Pentingnya pendidikan anak sampai menjelang usia 15 tahun ini, sebenarnya tidak hanya diutarakan Muhammad Quthub, sebelumnya J.J. Rousseau mengatakan bahwa usia ini merupakan periode pembentukan watak dan pendidikan agama. Berbicara tentang pendidikan anak tidak bisa lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kehidupan anak itu sendiri. Sementara dalam melihat perkembangan anak ada banyak persepsi, sehingga para ahli psikologi anak mencoba merumuskan berbagai teori dan pendekatan terhadap faktor apa yang paling dominan dalam mempengaruhi perkembangan anak.
Pada akhirnya muncul teori yang menyatakan bahwa perkembangan anak semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, selanjutnya teori ini dikenal dengan  Nativisme. Ada ahli yang berpendapat bahwa anak yang baru lahir ibarat “secarik kertas putih” atau “tabula rasa”, jadi hanya pengalaman dan lingkungan yang membentuknya, teori ini dikenal dengan Behaviorisme atau Empirisme. Lalu ada teori yang mencoba mencari titik temu antara keduanya (Nativisme dan Empirisme), yaitu teori yang berpendapat bahwa didalam perkembangan anak, baik pembawaan maupun lingkungan sama-sama memainkan peran penting. Teori ini disebut Konvergensi. Begitu juga Muhammad Quthub dalam mencermati perkembangan seorang anak tidak terlepas dari teori-teori yang telah ada. Muhammad Quthub mengakui bahwa faktor dasar (bakat) maupun faktor ajar (pendidikan) sangat memiliki pengaruh dalam perkembangan seorang anak. Jadi Muhammad Quthub mencoba mendekati perkembangan anak dengan memperhatikan bakat (pembawaan) yang dimiliki seorang anak untuk dikembangkan dengan pendidikan yang sesuai dengan langkah-langkah yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Sebagai contoh seorang anak dianjurkan untuk dikhitan, takhnik dan “aqiqah”. Namun menurut Muhammad Quthub sebelum dilakukan aqiqah dan khitan, bayi yang baru lahir terlebih dahulu diserukan suara adzan pada telinganya.
Pendidikan anak yang dipaparkan Muhammad Quthub –menurut penulis– cukup menarik dan penting (urgen) untuk dikaji dan dikritisi, karena tidak hanya didekati dari aspek psikologi perkembangan anak saja, akan tetapi ia membahas pendidikan anak itu dari persefektif Islam. Ini merupakan sebuah kajian yang jarang dilakukan oleh tokoh sebelumnya.
Tokoh pemikir muslim yang lahir dikawasan Timur Tengah ini banyak menulis tentang pendidikan disamping tulisannya banyak menyoroti tentang wacana sosial-politik dan keagamaan. Berbicara tentang pemikirannya tidak lengkap tanpa mengetahui latar belakangnya. Muhammad Quthub adalah salah seorang pemikir muslim kontemporer dari Mesir, ia lahir di Assyaut pada tahun 1919 M. Muhammad Quthub atau nama lengkapnya Profesor Muhammad Ali Quthub Ibrahim al-Misri adalah seorang penulis yang sangat kritis (critical writter), tulisannya tentang ilmu-ilmu keislaman yang ia tulis tidak hanya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, akan tetapi akan mencakup bidang sosial-kemasyarakatan, sejarah budaya, politik dan bidang psikologi.
Muhammad Quthub seorang penulis yang prolifik (prolific writter), yang banyak menulis buku dalam bahasa Arab,dan ia banyak mempengaruhi pemikir Arab masa kini. Ia hidup di Mesir selama ketika perbedaan pikiran dan debat di bawah kerajaan tunduk kepada monolog Nasserisme. Tahun-tahun formatifnya menyaksikan pergantian gerakan unutuk bebas dan kendali kolonial Inggris, dan juga debat serta konflik dikalangan orang Mesir sendiri mengenai masa depan negara mereka.
Muhammad Quthub banyak memiliki kesamaan dengan kakak kandungnya Sayyid Quthub, yaitu sama-sama, menulis karya–karyanya dalam bentuk model “Islâm Haraqî”, jadi bukan hanya sebatas hubungan darah. Lebih dari itu, dari soal model tulisannya, hingga cara dan sikap intelektualnya, tidak jauh berbeda dengan Sayyid Quthub.
Muhammad Quthub juga hidup pada era yang berbeda, yaitu era presiden Nasser, lalu era pemerintahan presiden Sadat, setelah di lantik pada tanggal 15 Oktober 1970, beberapa hari setelah presiden Nasser meninggal karena serangan jantung pada tanggal 28 september 1970. Setelah presiden Sadat meninggal digantikan oleh president Husni Mubarok. Situasi tidak stabilnya pemerintahan Mesir ini tentunya akan mempengaruhi sikap serta pola pikir Muhammad Quthub yang sejak awal sangat memperhatikan Mesir dan para penduduknya.
Dari karya awalnya “Al-Insân bayna al-Mâdiyyah wa al-Islâm”, hingga “Jâhilîyyah al-Qarn wa al-‘Isyrîn”, Muhammad Quthub mengatakan perang terhadap ideologi dan pandangan-pandangan asing. Dalam kamus intelektualnya, hanya ada dua entry; pertama Islam (al-muslimûn) dan kedua jahiliyah (kuffâr). Dua terma dialektis tersebut mengisi hampir seluruh karya-karya Muhammad Quthub dan dua terma tersebut—menurutnya—ada dalam sepanjang sejarah manusia.
Tulisan-tulisan Muhammad Quthub tentang pendidikan selalu berangkat dari kekhawatiran akan pendidikan para generasi sekarang ini. Problema yang sedang dihadapi oleh anak-anak kita adalah terkoyaknya kehidupan psikhis dan dikadensi moral, hal ini karena pengaruh budaya-budaya asing seiring dengan perkembangan zaman di abad modern ini yang tak dapat dibendung lagi. Berangkat  dari hal inilah betapa pentingnya pendidikan bagi anak, yang tidak hanya diarahkan kepada membimbing anak sejak lahir hingga dewasa saja. Namun direncanakan sebelum anak itu lahir ke dunia, yaitu sejak orang tuanya memilih jodoh.
Karena hal inilah penulis merasa tertarik dan menganggap penting membahas serta menelaah pendidikan anak secara Islami yang telah diformulasikan oleh Muhammad Quthub. Adapun fokus pendidikan anak yang diutarakan muhammad Quthub dimulai sebelum kelahiran (pranatal) sampai usia anak menjelang pubertas (15 tahun), dimana pada usia ini pendidikan yang Islami sangat penting dalam rangka menanamkan nilai-nilai moral pada diri seorang anak. Dalam pembahasan artikel ini penulis mencoba menelaah atau mengkritisi bagaimana formulasi pendidikan anak secara Islami yang diutarakan oleh Muhammad Quthub.

B.   Pemikiran Muhammad Quthub tentang  pendidikan Islam
1.      Pengertian pendidikan Islam
Istilah “pendidikan” dalam bahasa Arab disebut dengan “ta’lim”, ada yang memilih “tarbiyah”, ada pula yang mempertahankan “ta’dib”. Mengenai penggunaan istilah ini, Quthub berpendapat bahwa istilah pendidikan (tarbiyah) dan pengajaran (ta’lim) tak perlu diragukan lagi, keduanya berasal dari satu akar. Namun tampaknya Quthub lebih senang menggunakan istilah “tarbiyah”, hal ini karena istilah ‘tarbiyah mencakup keduanya. Untuk selanjutnya Quthub mengartikan pendidikan Islam merupakan pendidikan yang hendak membentuk pribadi seorang anak agar berakhlak baik, di samping mendapatkan pengetahuan yang diperlukan bagi dirinya.[1]
Selanjutnya Quthub menegaskan bahwa pendidikan Islam hendak membawa seorang anak menuju pendidikan yang sesuai ajaran Islam yang sejati. Pembentukan moral dan tingkah laku yang sesuai dengan ajaran Islam merupakan pendidikan yang digali dari sumber primordial Islam itu sendiri (al-Qur’an dan al-Hadits). Dengan melihat pengertian pendidikan Islam yang diutarakan Quthub, terlihat jelas bahwa pendidikan Islam lebih merupakan pewarisan nilai-nilai keislaman yang mengarah pada keseimbangan dan keserasian perkembangan manusia baik jasmani, rahani maupun akal menuju terbentuknya keperibadian yang sempurna (insan kamil).
2.      Ciri-ciri Pendidikan Islam
Pendidikan Islam mempunyai ciri-ciri tersendiri, yang tentunya berbeda dengan karakteristik pendidikan secara umum. Muhammad Quthub mengatakan bahwa metodologi Islam dalam melakukan pendidikan adalah dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik dari segi jasmani maupun rahani, baik kehidupan secara fisik maupun mental dan segala kegiatannya.[2] Ciri utama sistem pendidikan Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar apa yang ada pada dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah kepadanya. Islam adalah agama fitrah,karena itu pendidikan yang dihasilkan juga sesuai dengan fitrah manusia sebagai si terdidiknya. Menurut Quthub, pendidikan Islam memberikan konsumsi pendidikan terhadap akal, jasmani dan rahani.
Jika pendidikan dewasa ini telah memiliki ciri-ciri sebagaimana yang digariskan oleh pendidikan Islam, maka tujuan pendidikan kita akan tercapai dengan baik. Penyimpangan tujuan pendidikan pendidikan kita sekarang ini, disebabkan karena penekanannya lebih banyak konsumsi akal, yaitu pengembangan nalar, tanpa memperhatikan pengembangan aspek-aspek lainnya. Dengan kata lain pendidikan hanya menekankan aspek-aspek kognitif ansich. Sedangkan aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat perhatian. Akibatnya out-put yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang otaknya penuh dengan ilmu pengetahuan, sementara jiwanya kosong dan gersang, karena tidak mengenal moral agama. Dari sinilah perlunya adanya keseimbangan antara porsi pendidikan secara integral (menyeluruh).
3.      Materi Pendidikan Islam
Istilah “materi pendidikan”, berarti mengorganisir bidang ilmu pengetahuan yang membentuk basis aktivitas lembaga pendidikan, bidang-bidang ilmu pengetahuan ini satu dengan yang lainnya dipisah-pisahkan, namun merupakan suatu kesatuan yang utuh. Materi pendidikan harus mengacu kepada tujuan, bukan sebaliknya tujuan yang mengarah kepada suatu materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari kontrol tujuannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa pelajaran matematika tidak akan bernilai guna seandainya tujuan yang akan dicapai tidak dirumuskan yang jelas di dalam proses belajar mengajar.
Adapun berangkat dari tujuan pendidikan yang diuraikan di atas, Muhammad Quthub memaparkan kurikulum atau materi pendidikan Islam, meliputi; pendidikan moral (akhlak), pendidikan individu (rahani, jasmani dan intelektual), dan pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya, ini merupakan kurikulum yang telah ditetapkan oleh Allah yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Lebih lanjut, Quthub memuat kurikulum yang tersirat dalam al-Qur’an, meliputi; iman, ibadah,bekerja, berperilaku, berpolitik, ekonomi dan sosiologi.[3] Tampaknya untuk mewujudkan generasi  yang kokoh iman dan Islamnya, Muhammad Quthub menekankan materi pendidikan yang bersifat menyeluruh, mendasar dan universal. Materi-materi pendidikan tersebut adalah materi ibadah, akhlak, pendidikan rahani, jasmani, akal dan iman.
4.      Dasar Perlunya Pendidikan Islam
Setiap usaha pendidikan sangat memerlukan dasar sebagai landasan berpijak dalam penentuan materi, interaksi, inovasi, tujuan dan cita-cita. Oleh karena itu, seluruh aktivitas pendidikan meliputi penyusunan konsep teoritis dan pelaksanaan operasionalnya harus memiliki dasar kokoh. Hal ini dimaksudkan agar usaha yang terlingkup dalam pendidikan mempunyai sumber keteguhan dan keyakinan yang tegas, sehingga praktek pendidikan tidak kehilangan arah dan mudah disimpangkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar pendidikan.
Dasar  pendidikan yang dimaksud tidak lain ialah nilai-nilai luhur yang dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa tempat pendidikan itu dilaksanakan. Berkaitan dengan pendidikan Islam, maka pandangan hidup yang mendasari seluruh proses pendidikan Islam –menurut Muhammad Quthub—adalah pandangan hidup Islami, yang merupakan nilai luhur yang bersifat universal. Sistem pendidikan yang benar haruslah berdasar pada apa yang digariskan oleh “kurikulum Allah” dan kurikulum tersebut telah terkandung dalam al-Qur’an.[4] Dari ungkapan Quthub tersebut dapat difahami bahwa al-Qur’an merupakan sumber nilai Islam yang paling utama. Lebih lanjut menurutnya, sumber nilai yang merupakan dasar pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an ialah :[5]
a.       Masalah akidah atau doktrin agama. Menurut Quthub, akidah merupakan suatu pondasi bagi pendidikan Islam. Akidah adalah tali yang mengikat diri manusia dan menyatukan arah. Akidah merupakan pengatur jasad dan ruh serta memberi keseimbangan terhadap semua dorongan untuk mencapai sasaran.
b.      Masalah kemanusiaan. Yang dimaksud dengan nilai kemanusiaan adalah pengakuan terhadap kemuliaan manusia, karena memiliki harkat dan martabat yang terbentuk dari kemampuan kejiwaan yang digunakan oleh akal budinya yang membedakan dari makhluk lainnya. Menurut Quthub, Islam sangat menghargai nilai persamaan derajat, hak dan kewajiban, karena kedudukan manusia di hadapan Allah adalah sama; yang membedakan manusia antara satu dengan yang lainnya hanya nilai ketakwaannya.
c.       Maslah alam semesta. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam berbicara pula tentang alam semesta dengan cara mengaitkan Allah sebagai pencipta dan pengaturnya. Berbicara tentang alam semesta secara tidak langsung berarti menyatakan sebagian dari ciptaan Allah yang menakjubkan, dan sekaligus menunjukan tanda-tanda kebesaran-Nya yang tak terbatas. Hukum alam merupakan tanda-tanda kebesaran ilahi yang Allah letakan pada alam. Menurut Quthub, alam semesta beserta segala energi, kondisi dan lingkungannya merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada manusia.
d.      Masalah kehidupan. Menurut Muhammad Quthub, al-Qur’an berbicara tentang kehidupan pada umumnya, khususnya kehidupan manusia, baik dalam aspek emosional maupun aspek moral. Kehidupan  di dunia ini tidak terjadi secara kebetulan. Kehidupan ini terjadi atas kehendak Allah sebagai pencipta dan pengatur alam semesta ini. Di dalam al-Qur’an pembicaraan tentang kehidupan juga dikaitkan dengan masalah ketuhanan. Pembicaraan ini sebagian dikaitkan dengan penciptaan mu’jizat-mu’jizat Allah, dan sebagian lagi dikaitkan dengan kekuasaan-Nya menghidupkan kembali segala yang mati. Dasar-dasar yang dikemukakannya ia gali dari fenomena yang ada dalam al-Qur’an, yang sebenarnya fenomena tersebut merupakan langkah-langkah kehidupan ideal seorang muslim.
5.      Peran Agama dalam Pendidikan Anak
Peran agama dalam pendidikan sangat penting, karena pendidikan saja tanpa agama akan mengambang. Proses pendidikan merupakan wujud dari transfer ilmu pengetahuan, padahal ilmu pengetahuan sendiri tidak bisa terlepas dari agama. Menurut Quthub, sebenarnya ajaran-ajaran Islam di dalamnya telah berisi sistem pendidikan untuk mengajar seluruh umat manusia, sebagai contoh shalat ditetapkan waktunya, ini merupakan pendidikan yang luar biasa, diantaranya kedisiplinan dan kepatuhan.[6] Konsolidasi dan pengintesifan perilaku teladan Islami membantu dalam mengarahkan dan membimbing seorang anak dalam menanamkan pendidikan yang Islami. Hal ini merupakan bentuk pendidikan yang baik karena secara tidak disadari akan membekas dan tertanam pada diri seorang anak. Lebih lanjut Quthub menghimbau agar sekolah Islam baik SD, SLTP, SLTA dan universitas, tidak mengajarkan faham yang memisahkan ilmu pengetahuan umum (sains) dan agama, karena sains tidak bisa diajarkan tanpa agama, begitu sebaliknya tidak bisa terpisahnya antara agama dengan sain.
Pemisahan antara sains dan agama, secara tidak terasa telah dilakukan juga oleh para pengajar di sekolah-sekolah. Sebagai contoh dalam pelajaran Antropologi mengajarkan teori evolusi Darwin, dalam pelajaran Sosiologi mengajarkan teori Durkheim, dalam pelajaran Psikologi kita mengajarkan teori Freud tentang seks, dan dalam pelajaran Geografi kita mengajarkan teori Big-Bang (teori ledakan besar). Para guru dengan bersemangat mengajarkan teori-teori tersebut, tanpa mengaitkan dengan agama, seolah-olah teori-teori tersebut sudah final dan mutlak benar. Menurut Quthub, mata pelajaran harus diajarkan dalam rangka meningkatkan keyakinan keagamaan dan membangkitkan rasa kesadaran keagamaan (religius-consciousness) kepada anak didik.[7]
C.  Konsep Pendidikan Anak secara Islami Muhammad Quthub
1.      Anak dan Perkembangannya
Muhammad Quthub mengartikan anak sebagai sosok individu yang sedang mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan secara dinamis, baik mental maupun biologisnya. Sehingga pada  masa ini anak sangat memerlukan bimbingan, pengarahan, pendidikan dan pengajaran. Adapun anak yang menjadi amanat bagi para orang tua dan para pendidik adalah tidak terbatas pada anak keturunan kita saja. Akan tetapi sebagaimana yang diungkapkan oleh Quthub “bahwa pengertian anak secara keseluruhan, tidak terbatas pada manusia yang dilahirkan melalui tulang sulbi kita saja, akan tetapi termasuk setiap anak orang muslim dimanapun berada dan dari kebangsaan manapun”.[8] Sebenarnya terlepas dari tugas (amanah) dan tanggungjawab orang tua dalam mendidik anak, tujuan utama dari pendidikan anak tersebut adalah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Sedangkan pembentukan budi pekerti tersebut harus dilakukan sewaktu anak masih kecil, hal ini karena pendidikan pembiasaan tingkah laku anak pada waktu kecil akan membekas dalam hati seorang anak.
Quthub menegaskan bahwa persiapan pendidikan anak secara dini dilakukan tidak saja sejak terjadi pembuahan pada rahim ibu (janin), akan tetapi semenjak pemilihan seorang isteri (jodoh).[9] Calon suami diperintahkan untuk memilih calon isteri yang baik, untuk kelangsungan generasinya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW “pilihlah (calon teman hidup) kalian, demi untuk seperma kalian (keturunan), sebab pengaruh keturunan itu kuat sekali”. (HR. Abu Dawud). Fase berikutnya orang tua harus memperhatikan perkembangan janin pada rahim ibu, karena sehat tidaknya kehidupan seorang anak pasca kelahiran sangat ditentukan oleh perkembangan bayi (janin) sewaktu masih dalam kandungan. Sehingga kelahiran seorang anak diharapkan dengan sehat dan fase berikutnya mulai fase perawatan dan pendidikan menuju kearah kematangan dan kedewasaan. Fase inilah yang kemudian disebut dengan fase kesadaran, dimana sorang anak sudah bisa mulai belajar dengan lingkungannya. Fase ini mulai menginjak pada fase belajar (educatif). Biasanya fase educatif ini berawal ketika seorang anak mendekati usia enam tahun. Fase berikutnya adalah periode akhir masa  kanak-kanak (pubertas), fase ini disebut juga fase anak sekolah. Pada usia ini menurut Quthub, sedang mengalami masa pendidikan, pengajaran dan pengarahan akhlak, seorang anak mulai memasuki masa-masa stabil dan mulai merasakan instink seksnya, mulai puber dan mulai memiliki tanggungjawab. Pada fase ini pendidikan dan pengarahan orang tua masih sangat penting, karena pada masa ini, seorang anak memiliki kecenderungan untuk lebih mudah dan peka terpengaruh oleh teman-teman sebayanya, daripada orang tuanya dan anggota keluarga lainnya. Kecenderungan ini akan hilang setelah anak memasuki masa remaja.
2.      Pendidikan Anak dalam Islam
Secara historis, kelahiran anak dimulai dengan adanya pernikahan, yang mempertemukan kehidupan manusia, yaitu antara laki-laki dan perempaun untuk menjadi satu keluarga. Menurut Quthub, untuk membina kehidupan yang harmonis dalaam berumah tangga harus dipersiapkan secara matang. Dalam hal ini seorang calon isteri atau suami harus memilih pasangan yang baik dan berkualitas, hal ini ibarat seorang yang mau bercocok tanam, mereka harus memilih tanah yang baik, subur dan cocok untuk pertumbuhan tanamannya.[10] Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an “Isteri-isteri kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam”[...].(QS. Al-Baqarah/2: 223).
Dalam persiapan pembentukan anak yang baik diperlukan pencetak yang baik pula. Tidak diragukan lagi bahwa peran seorang isteri (ibu) sangat berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya.
Perkembangan selanjutnya ketika janin telah bergerak hidup dalam kandungan, Quthub mengingatkan kepada para ibu agar memperhatikan kandungannya; yaitu dengan memperhatikan makanannya (gizinya), cara berjalan, cara tidur, dan sebagainya agar bayi lahir dengan sehat.
Tahap berikutnya, ketika bayi lahir perlu adanya penanganan yang serius, hal ini karena keadaan fisik dan psikhis seorang bayi masih sangat lemah, pada saat ini seorang bayi sangat memerlukan kasih sayang dan perhatian seorang ibu secara terus menerus,  pada saat ini sebenarnya telah mulai proses pendidikan pada seorang anak. Dari sini tampak peranan ibu sangat mewarnai perilaku anak. Seorang ibu bagaikan sekolah permualaan yang mengajar muridnya. Athiyah al-Abrasyi, menulis: “Ibu adalah ibarat sekolah, jika engkau persiapkan dia, berarti engkau telah mempersiapkan suatu generasi (bangsa) yang baik dan kuat”.[11] Menurut Quthub peranan ibu sangat besar dan menentukan, karena sejak hari pertama sampai tahun ketiga, seorang anak mengalami fase perkembangan, yaitu fase pengenalan, pembedaan dan fase pengertian.
Fase berikutnya anak usia tiga sampai tujuh  tahun, merupakan usia dimana seorang anak mulai terjun ke dalam masyarakat. Pada fase ini seorang anak mulai mengenal masyarakat. Kemudian sejak usia tujuh tahun sudah mualai mengenal lingkungan sekolahnya, bergaul dengan teman-temannya. Pada usia ini perlu bimbingan dan pengarahan dari pihak orang tua dan keluarga. Orang tua mulai harus memerintahkan seorang anak untuk mengerjakan shalat. Kemudian setelah usia sepuluh tahun, orang tua harus lebih tegas lagi pada anaknya untuk memerintahkan mengerjakan shalat. Pada fase ini juga seorang anak sudah mulai merasakan instink seksnya, yang berarti sudah menginjak puber (balig) sehingga orang tua harus mulai memisahkan tempat tidur seorang anak.
Fase berikutnya usia sepuluh sampai tujuh belas tahun,  merupakan anak sedang memasuki usia dewasa (puber/baligh). Pada fase ini seorang anak mengalami proses penemuan perubahan pada dirinya. Anak yang sedang dalam masa ini cenderung kepada perilaku yang didorong oleh kondisi psikhis dan sosialnya, dan ini merupakan reaksi terhadap gejolak yang ada dalam dirinya. Menurut Quthub, usia ini masih perlu perhatian dari para orang tua dan para pendidik, karena usia ini pengaruh lingkungan masyarakat sangat menentukan keberadaannya. Pengaruh ini terkadang memberikan pengaruh buruk pada seorang anak, sehingga sikapnya menyimpang dari norma dan etika yang telah dipupuk oleh kedua orang tuanya.
Quthub menjelaskan pedoman merawat dan mendidik anak secara Islami, yang telah dirumuskan oleh pendidik pertama, yaitu Nabi SAW, tata cara ini dilaksanakan oleh Siti Khadijah r.a. yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin lainnya, baik dikalangan ibu-ibu sahabat anshar maupun muhajirin ketika di madinah.[12] Daintara hukum yang disyariatkan Islam bagi anak yang baru lahir ialah menyerukan adzan pada telinga kanan dan mengiqamati ditelinga kiri,  kemudian mentahniknya (memamahkan kurma), memberi nama anak dengan yang baik,  mancukur rambutnya, mengaqiqahi (menyembelih kambing), dan mengkhitannya. Demikianlah langkah-langkah menurut ajaran Islam, sebagai pedoman perawatan dan pemeliharaan anak sebagai ujud pendidikan permulaan pada seorang anak yang harus dilakukan oleh orang tua.
3.      Metode Pendidikan Anak
Dalam pendidikan metode (al-manhaj/al-thariqah) merupakan hal yang cukup urgen. Peranan metode pendidikan berasal dari kenyataan yang menunjukan bahwa materi kurikulum pendidikan Islam tidak mungkin tepat diajarkan, melainkan diberikan dengan cara khusus. Adapun menurut Quthub, metode pendidikan ala Islam bisa melalui teladan (al-Tarbiyah bi al-Qudwah), melalui cerita-cerita (al-Tarbiyah bi al-Qishshah), melalui nasehat (al-Tarbiyah bi al-Mau’izhah),  malalui pembiasaan (al-Tarbiyah bi al-‘Âdah), dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit (al-Tarbiyah bi al-Ahdâts).[13] Lebih lanjut menurut Quthub, orang tua sebelum mendidik seorang anak dengan metode di atas, harus menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia, sabar, syukur, ikhlas, tawakal, dan berlaku benar, hal ini karena keteladanan sangat diperlukan dalam pendidikan seorang anak. Baik-buruknya akhlak seorang anak diawali dari baik-buruknya contoh teladan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya.
D.  Penutup
Pemikiran Muhammad Quthub tentang pendidikan anak merupakan reaktualisasi dari langkah-langkah dan pedoman pendidikan yang dianjurkan oleh Islam. Dengan mencermati pemikirannya, khususnya konsep pendidikan anak, para orang tua dan para pendidik berarti telah memiliki resep berupa formulasi sistem pendidikan anak yang dapat diterapkan dalam pendidikan anak dewasa ini. Pendekatan Muhammad Quthub dalam pendidikan anak dilakukan dengan cara menyeluruh, hal ini terbukti dari metode yang dipakai dalam mengelaborasi seluk-beluk anak dan perkembangannya. Pertama, ia pandang anak sebagai sosok individu yang sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan dinamis, baik biologis maupun mental. Sehingga pendekatan psikhologis ia pakai dalam menyelami dunia anak tersebut. Kedua, ia pandang anak dari persfektif Islam, dimana banyak ayat maupun hadits yang terkait dengan pedoman merawat, membimbing dan mendidik anak.
Pemikiran Muhammad Quthub tentang pendidikan anak ini, merupakan salah satu upaya reaktualisasi dari pendidikan anak secara Islami yang akhir-akhir ini terasa  terabaikan. Hal  ini karena pendidikan hanya menekankan aspek kognitif ansich, sedangkan aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat perhatian. Semestinya pendidikan merupakan proses humanisasi, bukan sebaliknya, yaitu proses dehumanisasi. Wallahu ‘alamu bi al-shawab.






Daftar Pustaka
Al-Abrâsyi, Muhammad Athiyah, 1979, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ, Beirut: Dar al-fikr, Cet-2.
Dep. P dan K, Tim, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:  CV. Balai Pustaka, Cet-3.
Depag RI, 1995, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Intermasa.
Dradjat, Zakiyah, 1995, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, Bandung: Bumi Aksara.
Isro, 2001, Al-Insan Al-Kamil Menurut Al-Jili, dalam Jurnal Studi Islam, Volume 1, Nomor 2, Pebruari, Semarang: CV Program Pascasarjana IAIN Walisongo Press.
Isro, 2002, Pemikiran Muhammad Quthub tentang Pendidikan anak dalam Persfektif Islam, Semarang: Thesis Program Pasca sarjana IAIN Walisongo, Tidak diterbitkan.
Isro, 2006, Memahami Cinta (Kajian Cinta secara Islami), dalam Majalah MGP (Media Guru dan Pelajar), edisi Perdana/Th.1/November, Bumiayu: Yayasan Baeti Press.
Isro, 2006, Peran Agama dalam Pendidikan, dalam Majalah MGP (Media Guru dan Pelajar), edisi Perdana/Th.1/Oktober, Bumiayu: Yayasan Baeti Press.
Jalal, Abdul Fattah, 1988, Azas-Azas Pendidikan Islam (Min Ushûli al-Tarbiyah al-Islâmiyah), Terj.., Bandung: CV. Diponegoro.
Quthub, Muhammad, 1964, Jâhiliyyah al-Qarn al-‘Isyrîn, Kairo: Maktabah Wahbah.
Quthub, Muhammad, 1973, Ma’rakatu al-Taqâlîd, Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub, Muhammad, 1973, Syubuhâtu Haula al-Islâm, Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub, Muhammad, 1983, “Islam dan Krisis Dunia Modern”, dalam Khursyid Ahmad, (ed), Pesan Islam (Islam: its’s Meaning and Message), terj. Achsin Ahmad, Bandung, CV. Pustaka.
Quthub, Muhammad, 1983, Al-Insân Bayna al-Madiyyah wa al-Islâm, Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub, Muhammad, 1983, Fî al-Nafsi wa al-Mujtama’, Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub, Muhammad, 1983, Manhaj al-Fani al-Islâmi, Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub, Muhammad, 1987, Manhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyyah, Juz 1-2, Kairo: Dar al-Syuruq, Cet-7.
Quthub, Muhammad, 1987, Waqi’unâ al-Mu’ashir al-Madinah li al-Shahafah, Jedah: Wath-Thaba’ah wa al-nashr.
Quthub, Muhammad, 1991, Ra’yatun Islâmiyah li Ahwal al-‘Alam al-Mishr, Riyadh: wath-Thaba’ah wa al-Nashr.
Quthub, Muhammad, 1993, Auladunâ  fî dlau’i al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Terj. Harun Abubakar Ihsan, Bandung: CV. Dipenogoro.
Quthub, Muhammad, 1979, The Role of Religion in Education, dalam syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas (Editor), Aims and objectives of Islamic Education (Islamic education Series), Jedah; Hodder and Stroughton, King Abdul aziz.
Tauhid MS, Abu, 1990,  Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN  Sunan Kalijaga Press.
Biografi Penulis :
Nama
Isro, M.Ag.
TTL
Brebes, 14 Juni 1974
Alamat
Jl. Clakar 06 Kp. Parasi RT.5/RW.1, Desa Karangpari, Kec. Bantarkawung, Brebes 52274
E-mail
isromag@yahoo.co.id
HP/Telpon
0852 1519 5333/0888 260 5 260
Riwayat Pendidikan

1.    Sekolah Dasar
SD Negeri Karangpari 1 Bantarkawung Brebes
2.    SLTP
MTs Miftahul Huda Bangbayang Bantarkawung Brebes
3.    SLTA
MA Negeri Purwokerto 1 Banyumas
4.    Sarjana Strata-1
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/Ty-PBA
5.    Sarjana strata-2
IAIN Walisongo Semarang/Ty-PPI
6.    Pelatihan Bahasa
1.    Pesantren Darussalam  Purwokerto /Bhs. Arab

2.    Institut MAHESA Pare Kediri/Bhs. Inggris

3.    UBINSA Semarang/Bhs. Inggris

4.    KKT UNNES/Bhs. Inggris




[1] Muhammad Quthub,  Manhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyyah, Juz 1, Kairo: Dar al-Syuruq, Cet-7, 1987, hal. 18.
[2] Ibid hal. 19.
[3] Muhammad Quthub,  Manhaj... hal. 2
[4] Ibid hal. 4
[5] Muhammad Quthub,  Manhaj... hal. 4-21
[6] Muhammad Quthub, The Role of Religion in Education, dalam Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas (Editor), Aims and objectives of Islamic Education (Islamic education Series), Jedah; Hodder and Stroughton, King Abdul Aziz, 1979, hal. 5.
[7] Ibid hal. 7.
[8] Muhammad Quthub,  Auladunâ  fî dlau’i al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Terj. Harun Abubakar Ihsan, Bandung: CV. Dipenogoro, 1993, hal. 17.
[9] Ibid hal. 18.
[10] Ibid hal. 106.
[11] Al-Abrâsyi, Muhammad Athiyah,  Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ, Beirut: Dar al-fikr, 1979, Cet-2, hal. 138.
[12] Muhammad Quthub, Auladunâ... hal. 93.
[13] Muhammad Quthub, Manhaj... hal. 180.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar