Indahnya kalau kita Bisa Berbagi.
By Direktur
EC : YollandaVusvita Sari
“Dalam transformasi yang
sangat cepat ini, pendidikan tampil sebagai satu-satunya institusi yang
mempunyai peluang banyak untuk meluruskan bias dari nilai-nilai transformatif.
Pasalnya sekarang, pendidikan tidak hanya mengalami perubahan, akan
tetapi berganti wujud dan penampilannya, kalau tidak dikatakan lepas sama
sekali dari misi profetik yaitu memanusiakan manusia.”.
( Khoiron Rosyadi)
( Khoiron Rosyadi)
Pendahuluan
Zaman ini adalah kehidupan dengan
penuh realita sebagai wajah dari dinamisasi kehidupan manusia abad-21. Semakin
berprosesnya dunia ini maka manusia turut serta untuk ikut berperan dalam
mewarnai dunia jagat raya dengan membawa misi dan idelologinya masing-
masing. Di era modern ini bangsa kita seperti bangsa yang sedang berdiri
diatas sungai yang deras dan kesulitan untuk menyelamatkan diri. Arus
globalisasi dan modernisasi era industri begitu kencang untuk di lawan,
sedangkan kalau ikut dengan arus itu maka kita akan basah kuyup dan
berganti baju dengan corak warna bangsa lain. Pengaruh materialisme,
kapitalisme menjadi “agresor raksasa” yang dengan perlahan-lahan telah mengikis
bangsa ini menjadi bangsa penurut, tunduk pada kemajuan teknologi, mengagungkan
pasar dan menjadi “ahli konsumtif”. Di samping itu, faktor permasalahan
dalam negeri tidak mau kalah, KKN yang membudaya dan terus ber-generasi, akhlak
anak bangsa yang memprihatinkan, kemiskinan dan kebodohan adalah masalah yang
pelik dan kusut untuk kita urai dari mana akar permasalahan sebenarnya.
Permasalahan-permasalahan itu semua memberikan ekses-ekses negatif yang
berakibat pada runtuhnya sendi-sendi bangsa ini.
Bidang politik, ekonomi,
sosial-budaya termasuk pendidikan merupakan sendi kehidupan bangsa ini yang
telah terkena imbas dari permasalahan yang diciptakan manusia global
(internasional ) maupun lokal (bangsa sendiri). Dengan demikian, orang
hanya memaknai kehidupan dengan kaca mata realita untuk menyadari apa
yang terjadi. Problem manusia modern saat ini begitu kompleks dan
memperihatinkan. Manusia yang semula merdeka, yang merasa menjadi pusat dari
segala sesuatu, kini telah diturunkan derajatnya menjadi tak lebih dari sebagai
bagian dari mesin- mesin raksasa teknologi modern. Karena proses inilah, maka
pandangan tentang manusia menjadi tereduksi. Nilai manusia kini terdegradasi
oleh proses bekerjanya teknologi. Di barat kini telah terjadi pergeseran
konsepsi tentang manusia. Manusia pada zaman abad ressainans digambarkan
sebagai pusat segala sesuatu. Posisi manuisa semacam ini, celakanya, justru
dijustifikasi oleh banyak aliran filsafat kontemporer barat. Manusia memahami
keadaan berdasarkan apa yang dia lihat sebagai dinamisai kehidupannya. Orang
berbuat korupsi itu adalah kehidupan, bertindak tidak jujur dan mengukur
kebenaran berdasarkan rasio sendiri adalah kehidupan. Ini adalah masalah
kemanusaiaan yang menyebabkan manusia kehilangan derajatnya (dehumanisasi),
baik sebagai Khalifah maupuan Abdullah.
Kita sedang menghadapi ‘’perang“ ,
ghazwul fiqr atau intelektual aggression. Musuh kita adalah materialisme dan
sekularisme dunia modern. Kita semata-mata untuk mengubah mentalitas umat,
mempersiapkan umat memasuki era industrialisasi, globalisasi dan perdagangan
bebas. Melalui diseminasi lewat penerbitan, seminar, training gagasan akan
mencapai umat. Diharapkan bahwa pada 2020 umat sudah siap ,menghadapi
perubahan-perubahan itu. Kita selalu bertanya-tanya, bagaimana masalah
ini bisa diatasi sedangkan yang menciptakan masalah itu adalah manusia itu
sendiri. Pendidikan dengan misi mulianya membentuk manusia berkarakter
mulai diragukan perannya, padahal pendidikan adalah seni membentuk kepribadian
manusia. Kemudian, timbul pertanyaan, bagaimana “industri pencetak”
(pendidikan) menghasilkan manusia berkarakter sedangkan “industri
pencetak” itu sendiri penuh dengan masalah.
Pendidikan itu mahal, pendidikan
menjadi alat komersialisasi dan pendidikan gagal membentuk karakter manusia
seutuhnya adalah beberapa inventaris masalah yang sering muncul di arena
publik. Prof. Dr. Wuryadi, MS (Ketua Dewan Pendidikan DIY) menginventarisir
beberapa permasalahan dalam pendidikan Indonesia. Permasalahan itu adalah
arus globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang menjauhkan dari aspirasi
pendidikan untuk semua, adanya upaya secara sistematis untuk menempatkan institusi
pendidikan di Indonesia lebih sebagai corporate institution (permintaan WTO
kepada KADIN), adanya upaya untuk menyebarluaskan logika corporateness, yaitu
tidak ada pendidikan yang bermutu tanpa biaya mahal dan adanya upaya secara
sistematis untuk memasang kriteria mutu sebagai pintu untuk keterbukaan
institusi pendidikan di Indonesia bagi campur tangan global. Di era reformasi,
dunia pendidikan tinggi di Indonesia memasuki babak baru, yaitu kapitalisme
perguruan tinggi. Di ranah apapun, dogma utama kapitalisme memang ingin
mencetak capital sebesar-besarnya. Akibatnya, pendidikan sebagai unit usaha
pencetak uang sehingga biaya pendidikan makin mahal. Dari berbagai fenomena
permasalahan ini maka ada dua hal yang menjadi point penting yang bisa kita
jadikan lensa untuk melihat “fenomena sakitnya pendidikan” saat ini.
Pertama, Pendidikan belum mempunyai “ruh”. Ruh yang dimaksud dalam pendidikan disini adalah menghadirkan kembali misi profetik keagamaan untuk disajikan ke ruang publik. Mengenai hal ini, kita tidak lagi berdebat mengenai dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama dalam legal-formal. Akan tetapi kita berbicara spirit yang menjiwai pendidikan itu sendiri yang diantarnya pendidikan yang humanis dan dapat memainkan peran liberasi (pembebasan) yang membebaskan dari segala penindasan, kebodohan, kemiskinan. Ruh pendidikan dapat menjadi imunitas agar perannya untuk membentuk manusia yang berkarakter ideal dapat terwujud tanpa ada ganggguan dalam prosesnya. Ruh itu akan menjadi “oase pendidikan” di tengah keringnya makna akan kehidupan yang sering dialami manusia, menjadi penawar dalam melakukan filter dari pengarus globalisasi seperti kapitalisme dan materialisme di era modernitas. Ruh itu adalah nilai humanisasi dan liberasi yang didasarkan pada nilai transendental-keimanan.
Humanisasi adalah proses
memanusiakan manusia, memperlakukan manusia sesuai dengan fitrahnya, bukan
dianggap robot yang bisa dikendalikan dan bukan pula hewan yang menjadi
suruhan. Pendidikan humanis adalah pendidikan yang menempatkan manusia sebagai
generasi pembelajar, bukan hanya sebagai subjek didik maupun objek didik.
Spirit humanisasi dalam pendidikan adalah spirit untuk mengajar dan belajar
yang harus dilakukan oleh pendidik maupun peserta didik.
Kedua, adanya model manusia
sebagai tauladan. Dalam pendidikan, khususnya pendidikan karakter yang telah
menjadi kesepakatan decion making pendidikan Indonesia harus menampilkan sosok
manusia yang di jadikan panutan atau model manusia yang harus di tiru
sebagaimana sesuai dengan output dari pendidikan karakter itu sendiri.
Model manusia seperti ini adalah model manusia yang didukung oleh kekuatan dan
daya pengaruh ketuhanan (spiritualitas), melakukan evolusi dan transformasi
kedirian dari jiwa hewani menjadi jiwa insani. Makhluk Tuhan yang telah
memberikan contoh untuk melakukan ini semua adalah tidak lain seorang nabi
(prophet). Nabi merupakan model dan teladan manusia yang paling lengkap dan
sempurna dalam berinteraksi didua dimensi kehidupan, yakni kehidupan dalam
tatanan ketuhanan maupun dalam tatanan keinsanan dan kemakhklukan. Sifat-sitaf
Nabi pun sebenarnya sudah tersirat ditujuan dari pendidikan itu sendiri yaitu
membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
(transendensi), berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan kita harus
menghadirkan spirit prophetic dalam setiap proses belajar mengajar.
Spirit prophetic ini mengajarkan ketauladanan sebagai harga mutlak. Anak didik
senantiasa diarahkan pada niatan ibadah sebagai hamba Tuhan dalam segala
aktivitasnya. Makhluk sebagai yang di ciptakan Tuhan maka tidak bisa menapikan
diri dari petunjuk Tuhan.
Optimalisasi dan Urgensi Nilai
Profetik dalam Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan salah satu
sektor penting dalam pembangunan disetiap negara. Azyumardi Azra
(2008;35-36) mengaitkan pendidikan dengan budaya dan agama sebagai
kekuatan penanaman nilai bagi peserta didik. Pendidikan selain mencangkup
proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan juga merupakan proses yang
strategis untuk menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia.
Sementara itu, agama juga mengandung ajaran tentang berbudi luhur dan mulia
bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya. Tetapi,
ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu-waktu
tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu
dan masyarakat yang berkatakter, berkeadaan dan berharkat.
Armai Arief (2008;45-46)
mendukung tiga sumber nilai ini yang berperan membentuk karakter bangsa. Dalam
upaya pembangunan karakter bangsa melalui pendekatan budaya, pendidikan dan
agama merupakan pendekatan yang mampu menyentuh persoalan, karena ketiganya
memiliki keterkaitan yang erat dan langsung bersentuhan, bahkan tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Seiring dengan perkembangan global,
dimana terjadi globalisasi nilai-nilai dan budaya telah membawa masyarakat kita
untuk tidak bisa lepas dari pengaruh globalisasi tersebut. Dengan alasan tidak
mau ketinggalan zaman atau mengikuti zaman modern sebagian masyarakat
kita seolah lupa terhadap budaya yang selama ini dipegangnya. Ini pemaknaan
modernisasi yang salah, karena kehidupan modern seharusnya diwarnai dengan
kehidupan yang realistis dan rasional.
Banyaknya kalangan terutama
kaum akademisi yang memberikan perhatian khusus mengenai pendidikan karakter.
Berbicara mengenai karakter memang cukup complicated apabila kita kaitkan
dengan beberapa bidang ilmu yang memiliki ruang pengetahuan mengenai
karakter itu sendiri terutama kaitannya dengan manusia. Ketika manusia
bertingkah laku maka kita mengenal antropologi yang konsen mempelajari
mengenai manusia. Ketika berbicara prilaku manusia tentang baik dan buruk
maka kita dihadapkan dengan disiplin ilmu moral, etika. Begitu pula dengan
masalah kejiwaan yang melahirkan perbuatan maka kita melihat peran disiplin
ilmu psikologi didalamnya. Ketika berbicara mengenai kehidupan interaksi
dan sosialiasai sesama manusia maka kita juga dihadapkan dengan ilmu sosiologi.
H.A.R Tilaar (2008 ;17-18) dalam
“Karakter Bangsa dalam Perspektif Pedagogik Kontemporer”) mengemukakan beberapa
arti dari istilah karakter. Istilah karakter (character) atau dalam bahasa
Indonesia kadang-kadang diterjemahkan dengan watak, sifat hakiki seseorang atau
suatu kelompok atau suatu bangsa. Namun demikian istilah watak (character)
mempunyai arti yang sangat beragam, antara lain sebagai berikut:
1) Karakter berarti jati diri
seseorang yang meliputi keseluruhan sikap/tingkah laku (behaviour) seseorang
yang dapat dikenali dalam berbagai situasi. 2) Dalam arti sempit karakter
adalaha sifat atau karakteristik dari seseorang yang sangat menonjol
sehingga merupakan trade mark orang tersebut. 7) Apabila kita mendengar
ungkapan sebagai berikut: “Oh, itu memang sudah wataknya”. Artinya tingkah
laku,hasil karya seseorang tersebut menggambarkan ,kualitas pribadi tertentu
yang dimiliki oleh seseorang itu. 8) Pemain film tersebut adalah pemain watak
(pemain karakter) dapat juga disebut sebagai pemain watak. Atau dalam ungkapan:
“pribadi Kublai khan yang keras itu di mainkan oleh pemain watak yang tepat”.
9) Huruf didalam abjad juga di sebut karakter. 10) Simbol-simbol yang
digunakan dalam komputer disebut juga karakter.
Apabila kita simak makna dari istilah karakter tersebut diatas, maka pertama , kita lihat adanya muatan etis didalam karakter itu. Kedua, karakter merupakan milik personal dari seseorang ataupun suatu msyarakat atau bangsa. Dengan menggunakan kacamata nilai etis dan personal inilah kita akan memaknai” karakter” sebagai milik manusia seutuhnya. Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi suatu pemikiran, sikap dan prilaku yang ditampilkan. Doni Kusuma mengemukakan bahwa karakter adalah kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya, sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Menjelaskan arti karakter baik secara etimologis maupun istilah terutama dari para ahli akan kita temukan arti berbeda tergantung cara pandang, bidang keilmuan yang dimiliki dan metode pendekatan yang di lakukan, akan tetapi semuanya mengarah pada pembahasan tentang manusia baik sebagi makluk individu maupun sosial. Disinilah peran profetik untuk menginternalisasikan nilai-nilainya kedalam pendidikan karakter. Pada dasarnya pendidikan karakter adalah berbicara mengenai potensi yang ada didalam diri manusia. Manusia memiliki potensi fisik, akal dan hati, pendidikan profetik hendaknya bisa memanfaatkan tiga potensi ini. Kalau pengertian karakter yang dikemukakan para ahli diatas bahwa karakter adalah kepribadian, prilaku atau nilai-nilai yang mendasari perbuatan manusia maka kita tinggal menambahkan saja bahwa semua itu dapat merujuk pada karakter manusia paripurna (nabi). Karena pendidikan profetik tidak mengamini adanya model pendidikan yang hanya menekankan kemajuan intelektual, kognisi dan hafalan.
Dengan demikian, hal ini jelas tidak mewakili potensi lain yang manusia miliki dan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri . Oleh karena itu, apapun konsep pendidikan yang dibuat, intinya pendidikan harus diarahkan pada tujuan manusia untuk beribadah dalam rangka melaksanakan misi dari Allah. Konsep pendidikan (karakter) profetik menjadi urgent dalam rangka menyelamatkan manusia dari hagemoni derasnya paham barat yang dapat menyebabkan dehumanisai. Kalau kita mengandaikan manusia sebagai robot, maka baterai atau listrik dari robot itu adalah arus listrik profetik dan Tuhan pemegang remot kontrolnya. Nilai-nilai profetik keagamaan dalam ruang pendidikan harus kita hadirkan dalam implementasi dan tercermin dari konsensus sosok prophet sebagai modelnya.
Menyimak Kembali Silsilah Munculnya
Gagasan Ilmu Sosial profetik
Ilmu sosial profetik merupakan teori
yang cukup fenomenal sebagai proses ikhtiar yang panjang bapak cendikiawan
muslim dan budayawan Indonesia, Kontowijoyo. Berawal dari perdebatan mengenai
istilah teologi dikalangan umat islam, kemudian usulan ilmu sosial
transformatif dan akhirnya teori ilmu sosial profetik. Paling tidak, ada dua
hal yang menjadi cara yang dilakukan oleh Kuntowijoyo sebelum merumuskan teori
ilmu sosial profetik (ISP). Dua hal itu adalah berdasarkan pengalaman lapangan
dan pengetahuan dalam teks. Pertama, pengalaman ketika adanya perdebatan
mengenai istilah teologi antara kalangan islam konvensional dengan mereka yang
terlatih dalam tradisi barat. Gagasan yang di lontarkan oleh Moeslim Abdurahman
mengundang reaksi dari kalangan islam konvensional karena menganggap tidak
relevan lagi teologi-teologi tradisional yang menekankan pada kajian
ulang mengenai ajaran-ajaran normatif dalam pelbagai kalam klasik. Sementara
pihak kedua mengemukakan gagasan bahwa kita perlu merumuskan suatu ideololgi
baru yang disebut teologi transformatif yang lebih pada refkeksi aktual dan
empiris. Disini, Kuntowijoyo mencoba bersikap netral, dia hanya ingin
mengungkapkan bahwa mengenai gagasan pembaharuan teologi belum “diterima” dimasyarakat
kita. Hal ini dikarenakan bahwa konsep tersbut sebagai suatu cabang khazanah
ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang
ketuhanan, tentang tauhid.
Itu sebabnya mereka menganggap
gagasan mengenai pembaharuan teologi adalah gagasan yang aneh dan membingungkan
karena hal ini berarti mengubah doktrin sentral islam mengenai keesaan Tuhan.
Akan tetapi, Kuntowijoyo sepertinya tidak mau terjebak dalam perdebatan
akademik ini. Dengan analisisnya yang mumpuni, dia mencoba menawarkan istilah ilmu
sosial transformatif kendatipun usulan istilah ini belum finish. Dengan
mengganti istilah “teologi” ke “ilmu sosial”, Kunto ingin menegaskan sifat dan
maksud dari gagasan tersebut. Jika gagasan pembaharuan teologi adalah agar
agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas, maka metode yang
efektif untuk maksud tersebut adalah mengelaborasi ajaran agama kedalam bentuk
suatu teori sosial. Oleh karena itu, ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek
normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek
yang bersifat empiris, historis dan temporal. Maksud gagasan tersebut tidak
perlu diberi pretense doktrinal karena toh kita juga mengakui relativitas ilmu.
Kemunculan gagasan ilmu sosial bagi Kunto lebih mudah daripada menggunakan istilah
“teologi”, karena ilmu sosial membuka kemungkinan adanya perumusan ulang,
revisi dan rekontruksi secara terus menerus baik melalui refleksi empiris
maupun normatif. Kalau menggunakan istilah teologi, misalnya, “teologi
pembebasan” yang muncul dari kalangan Kristen. Jika dirumuskan dalam
pretense doktrinal bahwa hakikat teologi Kristen adalah teologi pembebasan,
maka pengandaian sosialnya tentu ada penindasan struktural. Hal ini menimbulkan
pertanyaan bagi Kuntowijoyo, bagaimana teologi semacam ini berfungsi dalam
dalam masyarakat yang tidak terjadi penindasan structural. Dari sinilah
kunto mulai mencoba menilai bahwa”teori sosial” lebih efektif daripada “teologi
sosial”. Dengan perangkat teori sosial, kita akan mampu merekayasa transformasi
melalui bahasa yag objektif. Disamping itu, dengan teori sosial bidang garapnya
lebih bersifat empiris, historis dan temporal. (hal 85-86)
Namun demikian, lagi-lagi
Kuntowijoyo memberikan pelajaran bagi kita akan sistematisnya dalam menyusun
sebuah kerangka teori. Dari istilah teori sosial yang diusulkan, Kunto kembali
dihadapkan pada mandegnya ilmu sosial dewasa ini. Dari hal inilah muncul
gagasan tentang ilmu sosial transformatif walaupun akhirnya timbul persolan
baru seperti ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk siapa dan oleh
siapa? Sampai disini Kuntowijoyo sadar bahwa ilmu sosial transformatif
tidak memberikan jawaban yang jelas. Dari berbagai pertanyaaan-pertanyaan yang
terinventaris dan jungkir balik berbagai istilah inilah akhirnya gagasan emas mengenai
ilmu-ilmu sosial profetik lahir. Kelahiran dari gagasan ilmu sosial
profetik inilah yang menurut Kunto dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di
kemukakan diatas tadi.
Ilmu sosial profetik tidak hanya
menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk kearah
mana trasnformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Ilmu sosial profetik
tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita
etik dan profetik tertentu. Maksudnya dari cita-cita etik dan profetik tertentu
itu adalah berdasarkan cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi. Tiga
muatan nilai ini diambil dari surat Al-Imran:110 yang telah menjadi
karakteristik ilmu sosial profetik sekaligus menjadi istilah yang umum dengan
makna kreatif. Inilah jejak-jejak dengan perjalanan panjang munculnya gagasan
ilmu sosial profetik yang diawali dari pengalaman sebuah seminar. Kedua,
pengetahauan dalam teks. Walaupun ilmu sosial profetik terlahir dari gagasan
Kuntowijoyo, benih-benih kelahiran gagasan ilmu sosial profetik ini
sebelumnya diilhami oleh M. Iqbal. Asal usul intelektual ilmu sosial
profetik adalah buku Muhammad Iqbal “Membangun Kembali Fikiran Agama dalam
Islam” (Djakarta: Tintamaas, 1966). Dalam bab tentang “Jiwa kebudayaan Islam” dengan
mengutip kata-kata serorang sufi, Abdul Quddus, Iqbal memaparkan perbedaan
kesadaran Rasul (kesadaran profetik) dengan kesadaran mistik. Abdul Quddus
mengatakan ”Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi
Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang mencapai tempat itu, aku tidak akan
kembali lagi”. Seorang intelektual adalah pewaris Nabi. Seorang intelektual
tidak boleh berpangku tangan sementara dunia akan tenggelam. Istilah profetik
dimunculkan pertama kali oleh warga Negara Prancis bernama Roger Garaudy ketika
dia menelusuri tentang Islam. Dalam proses penelusurannya itu dia menjadi
muallaf dan kemudian menulis buku yang berjudul “Janji-Janji Islam”. Akan
tetapi tentang pengertian profetik sendiri dikenalkan oleh seorang filosof
sosial. Dawam Rahardjo dalam pengantar bukunya Kuntowijoyo (1991), “Paradigma
Islam:Interpretasi Untuk Aksi” mengatakan bahwa, pengertian profetik, anatara
lain dibuat terkenal oleh filosof sosial dan ekonom besar AS, Kenneth Boulding.
Memaknai Gagasan Pendidikan Profetik
Ada dua variabel yang
melatarbelakangi dari gagasan pendidikan karakter profetik dalam tulisan ini.
Pertama, Pendidikan Karakter. Munculnya gagasan pendidikan karakter ini sebagai
respon dari gagalnya proses pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia yang
bermoral yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan agama. Lembaga pendidikan
hanya berhasil mencetak manusia yang hafal akan pelajaran, pintar menjawab
soal, tapi itu di lakukan dengan kecurangan, tidak jujur sehingga yang didapat
hanya nilai-nilai akademik tanpa nilai moral-etik. Akan tetapi gagasan ini
layaknya pisau bermata dua, di satu sisi misi mulia untuk membentuk karakter
manusia akan tetapi di sisi lain sistem pendidikan masih menggunakan rule of
law yang klasik. Evaluasi pendidikan terhadap peserta didik yang menekankan
aspek intelektual, tes dalam suatu pekerjaan yang memberikan porsi “gendut”
pada nilai akademik, pembelajaran teacher center dan “meng-anak tirikan”
kemampuan emosional serta spiritual adalah fakta publik yang rasionalnya
tidak sesuai dengan visi pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan yang
semestinya membebaskan manusia dari berbgai permasalahan kehidupan malah
terpenjara oleh sistem pendidikan itu sendiri. Pendidikan karakter sejatinya
sebagai wadah pembebasan yang membebaskan manusia dari kebodohan,
penindasan dan kemiskinan karena pendidikan adalah pembebasan
(empowering) dari berbagai penindasan kehidupan bangsa yang cerdas.
Kedua, Karakter Profetik. Berbicara
mengenai karakter dalam kerangka etis dan miliki personal meng-objek-kan
karakter substantif yang mengarah pada sosok manusia, tokoh yang menjadi
tauladan untuk di jadikan model karakter yang hendak di capai. Karakter
profetik ini penting sebagai ruh yang membentengi pendidikan dengan berbagai ekses-ekses
negatif yang datang dari derasnya arus globalisasi di era modernitas ini.
Melihat fenomena dunia sekarang, Max Weber (1958) dalam sebuah tesisnya
mengatakan bahwa kita hidup di alam yang ditandai oleh rasionalisasi dan
intelektualiasi, dan terutama ditandai oleh kekecewaan dunia. Dunia tidak lagi
menjadi fenomena keramat, kehidupan bukan lagi merupakan misteri yang tidak
dapat di duga. Nasib manusia tidak lagi ditangan manusia super. Agama yang di
suatu waktu bersekongkol dengan kemajuan manusia tidak diperlukan lagi.
Protestantisme mempermudah perkembangan kapitalisme, tapi kini protestantisme
jaya berdasarkan pada landasan bersifat mekanik dan tidak lagi memerlukan
dukungan agama. Betapa weber melihat kenyataan hidup sudah makin jauh dari
nilai kemanusiaan, landasan moral transendental bukan satu-satunya kepulangan
yang menjanjikan kedamaian. Ini karena semakin jauh jarak manusia dengan
nilai-nilai sakral-religius. Pertanyaanya adalah, siapa yang akan
mengembangkan iklim yang sudah mengalami distorsi pada sebuah iklim
yang mempunyai landasan nilai etik dan moral-transendental, sehingga kehidupan
kembali menampakan wajah aslinya, yaitu wajah kemanusiaan. Karena westernisasai
telah merambah ke sendi pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Kekhawatiran
ini disampaikan oleh Cary Nelson bahwa bahaya-bahaya atas universitas abad 21
yaitu 1) adanya korporatisasi/neoliberalisme pendidikan, 2) intrumentalisme:
pendidikan termasuk pendidikan tinggi tidak memiliki idealisme, tapi hanya
menjadi instrumen untuk mencari keuntungan, dan 3). ancaman
neoliberalisme terhadap disiplin akademik.
Kekhawatiran Cary Nelson ini sudah
terjadi di bangsa kita dengan bukti empiris di lapangan yang menjadi produk
pendidikan siap kerja tapi lemah softskill. Pandangan perguruan tinggi terhadap
lulusan yang “high competence” adalah lulusan dengan IPK tinggi dan lulus dalam
waktu yang cepat (<4 tahun). Sedangkan dunia industri menyatakan bahwa yang
di maksud dengan lulusan yang “high competence” yaitu mereka yang memiliki kemampuan
dalam aspek teknis dan sikap yang baik. (Illah Sailah, 2008). Oleh karena itu,
prilaku baik seseorang yang salah satunya memiliki kecerdasan emosional,
memiliki peran dominan dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang. Hal ini
sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang bahwa,
ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen
ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Sarjana yang lahir di era reformasi
sekarang ini umumnya lebih pragmatis dan mengalami “kekosongan
intelektualitas”. Mereka menjadi apatis terhadap kondisi masyarakat dan
mengalami kegagapan ketika berbicara topik yang lebih luas. Tanpa adanya
keterampilan sosial, bekal hard skill dan soft skill, mereka hanya menjadi
insan yang robotik.
Pendidikan Profetik merupakan
rekayasa sosial sebagai solusi alternatif dari kegelisahan pendidikan yang
berjalan tanpa ruh dengan arahan yang jelas. Prof. DR.Zamroni dalam seminar
internasional “the role of social studies in the context of nation and
character building” menyampaikan bahwa: karakter tidak otomatis berkembang pada
diri warga bangsa atau peserta didik. Perlu ada rekayasa sosial yang dirancang
dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang jelas. Rekayasa sosial ini
semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi yang merupakan
partisipasi dari berbagai pihak sekolah/lembaga pendidikan secara mandiri tidak
akan mampu mengembangkan karakter dikalangan peserta didik. Rekayasa sosial
untuk pembangunan karakter perlu di rencanakan dan dilaksanakan sebaik dan
secermat mungkin. Dalam hal ini, pendidikan karakter profetik bisa melakukan
rekayasa sosial seperti melakukan kolaborasi nilai spiritual-transendental
dengan keunikan budaya bangsa yang melibatkan lembaga pendidikan,
lingkungan keluarga dan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Pendidikan Karakter dalam Konteks
History Indonesia Masa Kini
Di tahun 2010, Menteri Pendidikan
Nasional, Mohammad Nuh menekankan pentingnya pendidikan karakter. sebagai
bagian dari upaya membangun karakter bangsa maka pendidikan karakter mendesak
untuk diterapkan. M. Nuh menyayangkan dengan output dari pendidikan selama ini
yang jauh dari harapan. Penegak hukum yang mestinya harus menegakkan hukum
ternyata harus dihukum. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus
dididik. Para pejabat yang mestinya melayani masyarakat malah minta dilayani
dan itu adalah sebagian dari fenomena yang bersumber pada karakter.
Manusia-manusia bangsa ini sangat memperihatinkan akan jeleknya karakter yang
dimiliki. Media sebagai alat mobilasasi massa menyuguhkan refrensi orang yang
tidak jelas identitasnya dengan berbagai acara infotainment, iklan dan berbagai
program televisi yang tidak sesuai dengan identitas bangsa ini. Akibatnya adalah
anak didik malas belajar karena suka menonton kartun, banyak orantua cerai
karena mereka selalu melihat perceraian para artis yang hal itu mereka anggap
biasa dan akhirnya mereka mengikuti juga. Buruknya kualitas program tv
Indonesia, media liberal yang berkiblat pada rating, tidak adanya formulasi
edukasi dari pemerintah , anak-anak menghabiskan waktu rata-rata 4 jam/ hari di
depan tv (Kidia,2009). Sangat disayangkan media televisi yang seharusnya
mengkonstruksi paradigma dan menciptakan peradaban melalui tayangan edukasi
tapi tercemar dengan hura-hura dan hiburan. Kalau kita mengingat
kembali mengenai program pendidikan karakter sebenarnya sudah di mulai sejak
lama. “Proyek” tentang program pendidikan karakter merupakan proyek yang sudah
lama berjalan akan tetapi belum menemukan “format mujarab” dalam hal
implementasi dan evaluasinya. Naik surutnya program pendidikan karakter ini
sudah dikenal sejak zaman orde baru. Pada masa orde baru, untuk membantu
pembentukan karakter bangsa Pendidikan Budi Pekerti masuk menjadi salah satu
mata pelajaran dalam kurikulum SD 1947, pendidkan budi pekerti lantas di gabung
dengan Pendidikan Agama dalam kurikulum 1964 dengan nama Agama/Budi Pekerti,
juga ada nama pelajaran khusus tentang kewarganegaraan yang disebut civic.
Berbagai macam cara memandang
pendidikan budi pekerti, entah itu dianggap sebagai mata pelajaran khusus, atau
terintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain seperti Pendidikan Agama, Sejarah,
PPKn, PMP, Pendidikan Kewarganegaraan dll, menunjukan bahwa bangsa ini
sebenarnya memiliki keprihatinan mendalam tentang pembentukan katrakter bangsa.
Namun, ketidakjelasan konseptual tentang makna pendidikan budi pekerti, seperti
tercermin dalam campur aduknya pendidikan budi pekerti dalam mata pelajaran
pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan kesejahteraan
keluarga, pendidikan agama dan lain-lain mengindikasikan bahwa pemikiran
tentang pendidikan karakter itu tetap bergulir dalam sejarah pendidikan bangsa
ini. Situasi ini sesunggguhnya menantang kita untuk kembali dapat meletakan dan
memahami pendidikan karakter bagi pembentukan kepribadian bangsa. (Doni
Koesoema, 2007; 50-51). Kita sering di hadapkan dengan istilah yang hampir sama
dalam maknanya tapi beda settingnya. Misalnya diskursus mengenai pendidikan
karakter, pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan agama dan pendidikan
kewarganegaraan. Kita sering di hadapkan dalam pada perdebatan akademis
mengenai empat macam pendidikan ini, Apakah semuanya memilki kesamaan? Kalau
iya, maka di mana letak persamaannya? Kalaupun beda, dimana perbedaannya?
Doni Koesoema memberikan gambaran
antara pendidikan karakter dengan pendidikan moral, pendidikan nilai,
pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Namun perbedaan ini bukan
perbedaan yang tidak ada hubungannya satu sama lain, melainkan keterkaitan yang
utuh dan saling melengkapi. Penjelasan di bawah ini secara singkat memberikan
kita pemahaman dari maksud yang dikemukakan diatas.
1. Pendidikan karakter dan pendidikan moral. Perbedaan antara
pendidikan karakter dan pendidikan moral adalah ruang lingkup dan lingkungan
yang membantu individu dalam mengambil keputusan. Pendidikan moral ruang
lingkupnya adalah kondisi batin seseorang sedangkan pendidikan karakter ruang
lingkupnya adalah pengambilan keputusan terdapat dalam diri individu, namun
keputusan dalam lembaga pendidikan melibatkan struktur dan relasi kekuasaan.
2. Pendidikan karakter dan pendidikan nilai. Pada pendidikan
nilai yang perlu diklarifikasi adalah system nilai individu sedangkan
dalam pendidikan karakter yang perlu diklarifikasi adalah system nilai individu
dan kelompok yang biasanya tercermin dalam relasi kekuasaan yang sifatnya
politis. Pendidikan karakter dan pendidikan agama. Agama merupakan sebuah
pondasi yang lebih kokoh, kemartabatan yang paling luhur, kekayaan yang paling
tinggi, dan sumber kedamaian manusia yang paling dalam. Pendidikan karakter
menjadi bangunan dari fondasi iman, realisasi nilai spiritual dari teks menuju
konteks
3. Pendidikan karakter dan pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan menjadi sumber formal-struktrual pendidikan karakter
dan pendidikan karakter memuat nilai-nilai demokratis.
Dibalik gagasan pendidikan karakter sepertinya belum menyentuh hakikat sesungguhnya. Kesalahan memahami dari tujuan Negara “…mencerdaskan kehidupan bangsa” dapat berakibat pada makin jauhnya tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri karena yang sekarang terjadi adalah pemahaman tentang kata “cerdas” yang menekankan pada aspek intelektual belaka. Suparlan (2004; 3-6) dalam bukunya “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dari Konsepsi sampai Implementasi,” mencoba membongkar logika berfikir sperti ini. Kata cerdas tidak hanya terbatas pada Makna yang telah dipahami oleh kebannyakan dewasa ini, misalnya seperti sinonim kata “cerdik, pandai, pintar” (Kamus, Dewan, 1997:232). Makna yang luas karena kata cerdas tidak hanya terbatas pada aspek mental, tetapi juga mengandung makna dalam aspek fisikal, misalnya dengan makna “sempurna pertumbuhan badannya seperti sehat, tangkas” (Kamus, Dewan, 1007:232). Adapun ada pihak yang berpendapat bahwa rumusan tujuan Negara dalam bidang itu seharusnya berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”,dengan alasan bahwa yang cerdas itu akan tampak dalam pola berfikir, bersikap dan bertindak warga negaranya.
Kesalahan makna atau konsepsi
tentang rumusan itu akan menyebabkan terjadinya kesimpangsiuran dalam
orientasi, yang lebih jauh kemudian akan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam
mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh, jika pemahaman tentang
“kecerdasan” itu semata-mata karena hanya terbatas pada kecerdasan intelektual,
maka implementasi pada proses pendidikan akan menekankan pada proses dan hasil
belajar yang bersifat akademis semata-mata. Akibatnya sisi lain dari kecerdasan
itu tidak pernah mendapat perhatian. Kesalahan pemaknaan terhadap kecerdasan
yang hanya menekankan kecerdasan intelektual itu lebih jauh akan tereflaksi
secara nyata pada pemilihan strategi, pendekatan, metode pembelajaran,
kurikulum yang berisi bahan ajar, sistem penilaian pendidikan, sampai dengan
bentuk laporan hasil belajar berupa buku rapor yang diberikan kepada orangtua.
Kesalahan konsep lebih jauh lagi akan mengakibatkan terjadinya kesalahan fatal
dalam sistem implementasinya. Teringat pada soal raport sebagai contoh, sistem
rangking atau peringkat itu terlalu memihak pada aspek akademis.
Angka-angka pada rapor hanya menunjukan prestasi siswa dalam bidang akademis,
dan sama sekali tidak menunjukan keberhasilan siswa pada bidang lainnya atau
tipe kecerdasan lainnya. Sistem peringkat dalam raport tersebut sangat
menafikan adanya kemajemukan dalam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap
individu manusia yang memang memiliki keunikan. Hal demikian di ungkap oleh
Sartono mukadis dengan wacana system “bintang” untuk menggantikan sistem
rangking (Kompas, 19 Juni 2003).
Pendidikan Profetik : Peluang dan
Tantangan dalam Implementasi
Pendidikan profetik merupakan
pendidikan yang di format untuk peradaban manusia karena pendidikan profetik
memasukan konteks pengalaman manusia dengan wahyu. Pendidikan profetik
berakar pada nilai-nilai wahyu sehingga tidak bersandar pada konteks teori
tentang pendidikan yang selama ini ada seperti behaviourisme dan positivisme.
Dalam dimensi keyakinan, manusia bertujuan untuk bertemu dengan Tuhannya (ingat
peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW) . Hal ini merupakan spirit profetik
karena Nabi sesudah bertemu Tuhan kemudian tidak tetap untuk selalu bersama
Tuhannya akan tetapi memilih kembali ke Bumi untuk bergabung dengan umatnya.
Pendidikan profetik berbicara
mengenai Idealita (Khalifah), realita (kejahiliahan) dan Metode (pendidikan).
Manusia disamping sebagai khalifah (pemimpin) juga sebagai abdullah
(hamba Tuhan). Nabi seperti guru yang membuka pintu peradaban yang membebaskan
. Hadirnya seorang Nabi ini diawali dengan Iqra (spirit learning). Spirit
learning ini menempatkan Nabi sebagai seorang Guru yang memberikan pencerahan
pada umatnya. Peradaban yang inspiratif hanya bisa dilakukan oleh guru
yang mempunyai karakter profetik. Pendidikan harus memimpin peradaban karena
kalau ekonomi yang memimpin maka akan melahirkan kompetisi seperti perebutan
kekayaan alam. Paradigma profetik mencoba melakukan format pendidikan yang bisa
menggeser paradigma kompetisi menjadi spirit bersinergi contohnya saling
melengkapi akan kebutuhan hidup masing-masing. Pendidikan karakter adalah
bagian dari pendidikan profetik. Misalnya kenapa orang Nasrani semangat
mendirikan rumah sakit karena punya mempunyai spirit profetik dari Nabi mereka
(Nabi Isa yang mukjizatnya dapat menyembuhkan). Cukup sudah ekonomi memimpin
globalisasi , saatnya pendidikan yang bangkit bukan hanya sektor ekonomi.
Berbicara mengenai profetik adalah
berbicara mengenai manusia, tokoh, idola, dan panutan. Tapi tidak sekedar itu,
berbicara model yang menjadi panutan untuk diikuti bukan karena kelebihan yang
dimiliki model itu dan kemudian melahirkan “kebanggaan pasif” bagi yang
mengetahuinya. Makna profetik lebih pada peniruan total (total imitation) akan
setiap perbuatan dan tingkah laku yang dilakukannya. Inilah perbedaan konsep
pendidikan yang ber-karakter profetik dengan konsep pendidikan yang lainnya.
Pendidikan karakter profetik mempunyai misi mulia untuk mengembalikan fitrah
manusia yang berkeadaban dan berkebudayaan tanpa meninggalkan kepribadian
sebagai keunikannya yang dimilki. Namun begitu, gagasan pendidikan profetik
memiliki tantangan dan peluangnya sendiri. Tantangannya adalah korelasi antara
pendidikan profetik yang memiliki kekhasan prophet dengan nilai kebangsaan
suatu Negara serta dengan ragam mulkulturalisme. Pertama, pendidikan keagaman
dan kebangsaan. a). Pendidikan karakter profetik harus disandingkan dengan
karakter kebangsaan yang menjadi ciri kepribadian bangsa Indonesia karena
apabila karakter profetik disajikan tanpa bumbu keindonesiaan maka konsep
profetik tidak akan berlaku karena Indonesia bukan negara agama.
Oleh karena itu, konsep profetik terhalang sistem pendidikan Indonesia yang selama ini menekankan pada karakter kebangsaan. b). Konsep profetik harus sesuai dengan ruang dan waktu. Peranan yang di lakukan Nabi yang berada di Arab mulai dari Makkah-Madinah tentu mempunyai perbedaan dengan Indonesia. Mulai dari obyek permasalahan yang ada, karakteristik masyarakat dan metode yang di lakukan. Misalnya, di makkah Nabi membebaskan manusia dari kejahiliahan agama tapi sekarang kita di Indonesia menghadapi manusia yang beragama. Bahkan, konsep yang menjadi realita tentang liberasi di zaman Nabi dengan sekarang beda. Zaman Nabi, wujud liberasi misalnya kebebasan menyatakan pendapat oleh siapapun tanpa memandang status sosial kalau di Indonesia kebebasan disini adalah kebebasan dalam demokrasi. Tapi karena bebasnya demokrasi di Indonesia malah terjerumus menjadi demokrasi yang individualistis. c). Konsep karakter profetik harus dihadapkan pada zaman kekinian masyarakat Indonesia yang menjadi karakteristik bangsa. Pendidikan profetik merupakan peluang keagamaan tapi mempunyai tantangan yang dihadapkan pada realita kebangsaan. d). Mendudukan antara konsep keagamaan dan kebangsaan tidak dimaksudkan dalam kedudukan yang horizontal, atas-bawah, ilahiah-kauniyah, akan tetapi konsep keagamaan-kebangsaan harus dilihat dalam pandangan kolaboratif kekhususan lokal suatu bangsa dengan ajaran wahyu agar terjadi sinkronisasi antara nalar wahyu dengan nalar akal. e). Konsep profetik dalam pembelajaran misalnya, dosen tidak menjadi pusat pembelajaran karena hanya akan menimbulkan ketergantungan sumber pembelajaran kepada mahasiswa. Mahasiswa yang harus menjadi pusat belajar (student center) agar bisa mandiri dan tidak ada ketergantungan (liberasi), sedangkan dosen hanya sebagai pendamping. Konsep inilah yang merupakan konsep yang kolaborasi dan konsultatif antara dosen dan mahasiswa.
Oleh karena itu, konsep profetik terhalang sistem pendidikan Indonesia yang selama ini menekankan pada karakter kebangsaan. b). Konsep profetik harus sesuai dengan ruang dan waktu. Peranan yang di lakukan Nabi yang berada di Arab mulai dari Makkah-Madinah tentu mempunyai perbedaan dengan Indonesia. Mulai dari obyek permasalahan yang ada, karakteristik masyarakat dan metode yang di lakukan. Misalnya, di makkah Nabi membebaskan manusia dari kejahiliahan agama tapi sekarang kita di Indonesia menghadapi manusia yang beragama. Bahkan, konsep yang menjadi realita tentang liberasi di zaman Nabi dengan sekarang beda. Zaman Nabi, wujud liberasi misalnya kebebasan menyatakan pendapat oleh siapapun tanpa memandang status sosial kalau di Indonesia kebebasan disini adalah kebebasan dalam demokrasi. Tapi karena bebasnya demokrasi di Indonesia malah terjerumus menjadi demokrasi yang individualistis. c). Konsep karakter profetik harus dihadapkan pada zaman kekinian masyarakat Indonesia yang menjadi karakteristik bangsa. Pendidikan profetik merupakan peluang keagamaan tapi mempunyai tantangan yang dihadapkan pada realita kebangsaan. d). Mendudukan antara konsep keagamaan dan kebangsaan tidak dimaksudkan dalam kedudukan yang horizontal, atas-bawah, ilahiah-kauniyah, akan tetapi konsep keagamaan-kebangsaan harus dilihat dalam pandangan kolaboratif kekhususan lokal suatu bangsa dengan ajaran wahyu agar terjadi sinkronisasi antara nalar wahyu dengan nalar akal. e). Konsep profetik dalam pembelajaran misalnya, dosen tidak menjadi pusat pembelajaran karena hanya akan menimbulkan ketergantungan sumber pembelajaran kepada mahasiswa. Mahasiswa yang harus menjadi pusat belajar (student center) agar bisa mandiri dan tidak ada ketergantungan (liberasi), sedangkan dosen hanya sebagai pendamping. Konsep inilah yang merupakan konsep yang kolaborasi dan konsultatif antara dosen dan mahasiswa.
Kedua, multikulturalisme. Konsep
multikultur tidak dipermasalahkan dalam kacamata pendidian profetik
karena kita tidak meniadakan akan suatu perbedaan. Namun, yang dipermasalahkan
adalah paham yang mengakui kebebasan dalam perbedaan tanpa ada batas. Konsep
pendidikan profetik mengiyakan perbedaan akan tetapi harus ada keyakinan atau
nilai universal yang disepakati bersama. Dalam keragaman ini (multikultur)
dalam lingkup transendensi tercermin dalam Pancasila sila pertama (Ketuhanan
Yang Maha Esa). Sila ini mengajarkan kesepakatan bersama adanya lima Negara di
Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik Protestan, Hindu dan Budha. Sila
ini juga sebagai legitimasi warga Negara Indonesia untuk berislam, berkatolik
dan sebagainya.
Hal ini sudah disepakati bersama
sehingga tidak ada kemunculan pemahaman atau aliran lain yang dapat
melahirkan agama baru. Berbicara Profetik adalah berbicara orangnya (person)
sedangkan ketika nilai ini menjadi kolektivitas sosial maka akan menjadi
masyarakat madani (ummat). Gagasan mengenai pendidikan profetik merupakan
gagasan filosofis dan ideologis yang lahir untuk merespon berbagai permasalahan
pendidikan Indonesia saat ini.
Muh. Khoirur Roziqin dalam
skripsinya berjudul “Format Pendidian Profetik ditengah Transformasi Sosial
Budaya” (telaah Kritis Pemikiran Kuntowijoyo), dibab I ia mencoba memaknai dari
konsep pendidikan profetik yang dibuat oleh beberapa penulis diantaranya adalah
Khoiron Rosyid dan Moh. Sofan. Muh. Khoirur Roziqin menjelaskan bahwa, Khoiron
Rosyid dalam bukunya Pendidikan Profetik tidak memaparkan adanya sebuah konsep
pendidikan profetik seperti apa yang relevan pada era transformatif seperti
sekarang ini. Proses pendidikan profetik ditengah transformasi sosial budaya
belum dilaksanakan sepenuhnya karena tidak adanya suatu konsep yang jelas dan
matang. Aktualisasi sebagai proses yang menjadikan konsep-konsep ideal
terealisasi menjadi tindakan nyata pijakannya. Hal tersebut dapat dipahami
dengan menempatkan dimensi aktualiasi pada mata rantai suatu siklus dinamika:
konsep dasar, konsep operasional dan aktualisasi, terhadap objeknya yang dalam
hal ini manusia sebagai subjek didik. dijadikan rujukan sebagai proses awal
supaya pendidikan dapat berjalan sinergi. Dan dalam hal ini yang menjadi subjek
adalah manusia. Selanjutnya perlu adanya suatu planning konsep operasional
benar-benar matang, maka siap diaktualisasikan dalam lembaga pendidikan.
Penutup
Menghadirkan misi profetik dalam
pendidikan merupakan ikhtiar untuk meneguhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan
yang sesuai dengan fitrahnya. Menghadirkan misi profetik dalam pendidikan tidak
hanya upaya untuk menjelaskan akan pentingnya pembentukan karakter manusia
dalam pendidikan akan tetapi juga diarahkan pada transformasi yang harus
dilakuakn. Pendidikan bervisi profetik dianggap sebagai pendidikan alternatif
untuk menciptakan pendidikan yang memiliki etika (ethical literacy) yakni etika
profetik, atau setidak-tidaknya pendidikan tidak sekedar pengetahuan tekstual
belaka, sehingga lulusan pendidikan kohesif hidup didalam masyarakat, dan tidak
hanya mondar-mandir menawarkan ijazah, akan tetapi mereka langsung
memanfaatkan kemampuan untuk eksistensi hidup dan menghadapi kehidupan.
Tiga pilar yang menjadi nilai
pendidikan profetik seperti humanisai, liberasi dan transendensi harus menjadi
konsep dasar yang ditrasformasikan menjadi konsep operasional. Muh.Khoirur
Roziqin yang mengutip dari bukunya Paulo Freire Pendidikan Kaum Tertindas
menegaskan humanisnya konsep humanisasi itu sendiri. Humanisasi
menegaskan manusia sebagai makhluk yang berkesadaran. Ia ada didalam dan
bersama dengan dunianya. Implikasinya, ia harus “hidup sendiri” bersama dengan
manusia lain dan realitas yang melingkupinya. Humanisasi ini yang akan membawa
rakyat pada perubahan realitas secara manusiawi. Dalam konteks ini perubahan
bukan berarti berbaliknya realitas kaum tertindas, melainkan teratasinya
kontradiksi antara kaum penindas dan kaum tertindas, sehingga berubah menjadi
saling memanusiakan. Pendidikan profetik bertujuan membentuk paradigma baru
dari dari tradisi yang telah berkembang selama ini yang banyak kecenderungannya
pada masalah-masalah normatif. Liberasi adalah pendekatan revolusioner, yang
dalam konteks Indonesia masa kini biaya sosialnya terlalu mahal, sehingga umat
Islam hanya perlu mengambil intinya, yaitu: usaha yang sungguh-sungguh.
Anak-anak sejak dini hendaknya sudah
diajarkan mandiri dalam menangani berbagai persoalannya agar ketika sudah
dewasa dia sudah terbiasa untuk mandiri tanpa bergantung pada orang lain[32].
Transendensi dalam konteks ini adalah kepercayaan persatuan bukan yang
menimbulkan perbedaan dan melahirkan kepercayaan baru. Kepercayaan kita adalah
kepercayaan keimanan yang mengakui adannya Allah yang satu. Kepercayaan ini
dapat menjadi prinsip yang mampu membongkar logika kepercayaan athesime yang
sebenarnya merupakan kepercayaan irrasional dalam kacamata fitrah seorang
manusia. Bisa kita ihat pada realita empiris bahwa kepercayaaan pada takhayul,
mitos dan berbagai kepercayaan yang menomorduakan Tuhan telah menimbulkan
disintegrasi komunal, agama bahkan bangsa. Pendidikan Humanistik
mengorientasikan proses pendidikannya sebagai berikut:
Bertujuan memanusiakan manusia dan
memanusiakan masyarakat.
Materinya memuat ilmu-illmu
kemanusiaa dan filasafat manusia, ilmu agama yang menerangkan transendensi
hubungan manusia dengan Tuhan, ilmu etika yang mengajaran nilai-nilai luhur
kemanusiaa dan ilmu estetika yang mengajarkan nilai-nilai keindahan. Metodenya
dengan cara menghargai harkat, martabat, dan derajat manusia sesuai dengan fitrahnya.
Permasalahan karakter bangsa adalah
permasalahan yang sudah menjadi perhatian oleh para pendahulu pendiri bangsa
ini, terutama pemerhati pendidikan. Potensi yang di miliki manusia terdiri dari
potensi otak (berfikir), hati (menentukan baik buruk) dan fisik (sarana untuk
bertindak). Semua potensi itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam
proses pembentukan karakter manusia karena telah berada pada orbit keseimbangan
sebagaimana keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan manusia. I Gede Raka mengatakan
bahawa para ‘founding fathers’ dari republik ini memperjuangkan kemerdekaan
dengan memusatkan perhatian pada pembangunan karakter. Pesan yang sangat jelas
mengenai pentingnya pembangunan karakter sudah disampaikan oleh W.R. Supratman
dalam lagu Indonesia Raya, ’…Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya Untuk
Indonesia Raya’.
W.R. Supratman menempatkan
pembangunan ‘jiwa’, sebelum pembangunan ‘badan’, bukan sebaliknya. pembangunan
karakter adalah pembangunan ‘jiwa’ bangsa. Menyadari bahwa karakter individu
tidak bisa dibentuk hanya melalui satu atau dua kegiatan saja, maka harus
disusun kurikulum pembinaan karakter yang berkesinambungan dan
terintegrasi dalam pembelajaran di kelas maupun di lingkungan pendidikan,
dimana proses tersebut juga melibatkan guru atau dosen, karyawan, dan
lembaga-lembaga pendidikan yang lain terutama pemerintah, sehingga manfaat
pembinaan karakter dapat dirasakan (Brooks, 2005).
Pendidikan Karakter Profetik menempatkan dimensi keimanan (transendental) sebagai ruh dalam setiap penyelenggaraan pendidikan karena segala segala sesuatunya tindakan manusia harus berawal dan berakhir sebagai wujud kehambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu tidak heran apabila dalam Pembukaan UUD 1945, para foundhing fathers membuat kalimat transendensi, “dengan Rahmat Allah Yang Maha Esa” sebagai nilai dasar konstitusi keimanan. Bahkan di dalam tujuan pendidikan di cantumkan secara tersirat “menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,………..”. Bila dasar hukum sudah sepakat dengan dimensi keimanan ini maka dengan bangga hati kita sebagai bangsa Indonesia telah melaksanakan Pancasila sebagai fundamentalnorm dalam Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dibidang pendidikan.
Pentingnya peranan seorang prophet
(nabi), Michael H. Hart dalam bukunya berjudul “Seratus Tokoh Yang Paling
Berpengaruh Dalam Sejarah” menempatkan seorang Nabi menjadi urutan pertama
sebagai tokoh yang berpengaruh sepanjang sejarah di dunia. Salah satu
faktor berpengaruhnya para Nabi adalah karena memiliki potensi intrinsik
yaitu memiliki karakter atau kepribadian yang ideal, plus kesadaran yang tinggi
akan peran dan tugasnya untuk melakukan perubahan pada umat untuk mencapai
kondisi masyarakat yang sehat.Dengan demikian, sangat diperlukan sekali mengenai
adanya reorientasi-substansi output dari proses pendidikan sehingga dengan
seperti ini ada reformasi dalam sistem proses pembelajaran yang mempunyai
tindakan transformatif yang meliputi humanisasi, liberasi dan transendensi.
Dengan karakter profetik, peserta didik diorientasikan kepada tugas dan
perannya di bumi (keluarga, sekolah dan masyarakat) dengan fase-fase yang di
alaminya.
Diantara fase itu adalah afeksi yang
melahirkan kesadaran untuk memperlakukan manusia sesamanya sesuai dengan fitrah
manusia (humanis), berperan aktif untuk menanam bibit-bibit kebaikan di manapun
ia berada (liberasi) yang semuanya di lakukan tanpa pamrih dan sombong yang
pada akhirnya semua itu harus mengakar pada nilai keimanan kepada Tuhan
(transendensi). Inilah misi profetik yang harus kita hadirkan kembali di arena
publik demi terwujudnya insan yang ideal berdasarkan keimanan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar