Penulis
: Isro, M.Ag.
Dosen STKIP
Islam Bumiayu
Abstraksi :
Anak
adalah sosok pribadi yang sangat lemah, dan memerlukan bantuan, bimbingan serta
pendidikan dari orang tuanya. Pendidikan dan bimbingan merupakan tugas dan
tanggung jawab yang diberikan oleh Allah SWT. kepada kedua orang tuanya. Namun
pendidikan dan bimbingan terhadap seorang anak akan berhasil dengan baik bila
orang tua memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang perkembangan anak itu
sendiri.
Islam
memandang anak tidak terlepas dari fitrah
itu sendiri. Memandang anak secara lebih riil
dan lebih proporsional, artinya
seoarang anak tidak dilepaskan dari dunianya, dimensinya serta prospeknya.
Pandangan pertama, keanakan merupakan
suatu tahapan dalam perkembangan manusia. Kehidupan dan perkembangan anak
dilihat dalam rentang historisnya.
Maka dalam mendidik seorang anak harus diperhatikan tahapan-tahapan
perkembangannya anak itu sendiri. Baik tahapan-tahapan perkembangan biologis
maupun psikologisnya. Pandangan kedua,
menurut Islam, anak itu merupakan amanah
Allah SWT. yang dititipkan kepada kedua orang tuanya. Pandangan ini menyiratkan
adanya keterpautan eksistensi anak dengan al-Khaliq maupun kedua orang tuanya.
Berdasarkan
fenomena di atas, seorang pemikir muslim yang sangat kompeten terhadap
pendidikan anak, yang bernama Muhammad Quthub, mencoba merumuskan sebuah formulasi tentang pendidikan anak
dari persfektif Islam. Dalam merumuskan
pemikirannya, ia berangkat dari sebuah keyakinan bahwa anak dilahirkan tidak
dalam keadaan lengkap dan tidak pula dalam keadaan kosong. Ada dua hal yang
melekat pada dunia anak sejak kelahirannya, pertama
anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,
yang dengan fitrah tersebut anak
mempunyai kecenderungan untuk mengesakan Allah SWT, disamping kecenderungan
untuk mengembangkan pembawaan atau bakat yang dimilikinya. Kedua, anak dilahirkan pada sebuah lingkungan yang dapat
mempengaruhi kecenderungan atau faktor eksternal yang dimilikinya.
Pemikiran
Muhammad Quthub tentang pendidikan anak berangkat dari sebuah tujuan yang
utama, yaitu hendak mengarahkan dan membentuk seorang anak yang berpredikat “waladun shalihun” yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT, dan untuk membentuk kearah itu tidak mudah, akan
tetapi perlu keseriusan para orang tua dalam mendidiknya. Menurutnya pendidikan
anak harus dilakukan secara menyeluruh, yaitu meliputi aspek jasmaniah, intelektual dan rahaniah, jadi pendidikan anak tidak
bisa dilepaskan dari ketiga aspek tersebut. Selanjutnya perkembangan anak dari
pra-kelahiran, pasca kelahiran sampai menjelang usia remaja (pubertas) merpakan tahapan perkembangan
yang harus diperhatikan dan difahami oleh para orang tua.
Dengan
mengkaji pemikiran Muhammad Quthub ini, orang tua dan para pendidik dapat
mengikuti langkah-langkah dan pedoman pendidikan anak secara Islami. Oleh
karena itu pemikiran Muhammad Quthub ini, seharusnya tidak difahami dalam
tataran teoritis saja, akan tetapi
dapat diterapkan dalam tataran praktis,
khususnya bagi orang tua atau para pendidik yang hendak mendidik anak secara
benar dan diridlai oleh Allah SWT.
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
sangat penting bagi perkembangan psikologi dan tingkah laku seorang anak. Anak
yang baik merupakan dambaan dari setiap orang tua. Namun untuk menciptakan anak
yang shaleh, yang hidupnya berkemampuan, berguna serta bahagia di dunia dan
akherat tidaklah mudah. Rasa sayang terhadap anak tidaklah cukup untuk mencetak
seorang anak yang sesuai dengan seperti apa yang diharapkan, karena kasih
sayang orang tua yang berlebihan justru akan menjerumuskan anak itu sendiri.
Berkaitan
dengan hal ini, para pakar ilmu pendidikan modern mencoba mengemukakan berbagai
teori untuk menyelamatkan anak agar menjadi sosok individu yang sesuai dengan
harapan.
Diantara
tokoh pemikir muslim kontemporer yang
mencoba memformulasikan metode pandidikan anak secara Islami adalah Muhammad
Quthub, seorang profesor yang begitu besar perhatiannya terhadap dunia
pendidikan umat Islam. Diantaranya yaitu perhatian terhadap pentingnya pendidikan
anak yang Islami sejak dini. Dimana --menurut Muhammad Quthub-- pendidikan ini
tidak hanya dimulai sesudah kelahiran akan tetapi dimulai sejak pranatal (sebelum anak lahir) sampai
masa pubertas (menginjak usia 15
tahun). Pentingnya pendidikan anak sampai menjelang usia 15 tahun ini,
sebenarnya tidak hanya diutarakan Muhammad Quthub, sebelumnya J.J. Rousseau
mengatakan bahwa usia ini merupakan periode pembentukan watak dan pendidikan
agama. Berbicara tentang pendidikan anak tidak bisa lepas dari faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan kehidupan anak itu sendiri. Sementara dalam
melihat perkembangan anak ada banyak persepsi, sehingga para ahli psikologi
anak mencoba merumuskan berbagai teori dan pendekatan terhadap faktor apa yang
paling dominan dalam mempengaruhi perkembangan anak.
Pada
akhirnya muncul teori yang menyatakan bahwa perkembangan anak semata-mata
ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, selanjutnya teori ini
dikenal dengan Nativisme. Ada ahli yang berpendapat bahwa anak yang baru lahir
ibarat “secarik kertas putih” atau “tabula rasa”, jadi hanya pengalaman dan
lingkungan yang membentuknya, teori ini dikenal dengan Behaviorisme atau Empirisme.
Lalu ada teori yang mencoba mencari titik temu antara keduanya (Nativisme dan Empirisme), yaitu teori
yang berpendapat bahwa didalam perkembangan anak, baik pembawaan maupun lingkungan
sama-sama memainkan peran penting. Teori ini disebut Konvergensi. Begitu juga Muhammad Quthub dalam mencermati
perkembangan seorang anak tidak terlepas dari teori-teori yang telah ada.
Muhammad Quthub mengakui bahwa faktor dasar
(bakat) maupun faktor ajar
(pendidikan) sangat memiliki pengaruh dalam perkembangan seorang anak. Jadi
Muhammad Quthub mencoba mendekati perkembangan anak dengan memperhatikan bakat (pembawaan) yang dimiliki seorang
anak untuk dikembangkan dengan pendidikan yang sesuai dengan langkah-langkah
yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Sebagai contoh seorang anak dianjurkan untuk
dikhitan, takhnik dan “aqiqah”. Namun menurut Muhammad Quthub
sebelum dilakukan aqiqah dan khitan, bayi yang baru lahir terlebih
dahulu diserukan suara adzan pada
telinganya.
Pendidikan
anak yang dipaparkan Muhammad Quthub –menurut penulis– cukup menarik dan
penting (urgen) untuk dikaji dan
dikritisi, karena tidak hanya didekati dari aspek psikologi perkembangan anak
saja, akan tetapi ia membahas pendidikan anak itu dari persefektif Islam. Ini
merupakan sebuah kajian yang jarang dilakukan oleh tokoh sebelumnya.
Tokoh
pemikir muslim yang lahir dikawasan Timur Tengah ini banyak menulis tentang
pendidikan disamping tulisannya banyak menyoroti tentang wacana sosial-politik
dan keagamaan. Berbicara tentang pemikirannya tidak lengkap tanpa mengetahui
latar belakangnya. Muhammad Quthub adalah salah seorang pemikir muslim
kontemporer dari Mesir, ia lahir di Assyaut pada tahun 1919 M. Muhammad Quthub
atau nama lengkapnya Profesor Muhammad Ali Quthub Ibrahim al-Misri adalah
seorang penulis yang sangat kritis (critical
writter), tulisannya tentang ilmu-ilmu keislaman yang ia tulis tidak hanya
dalam bidang pendidikan dan pengajaran, akan tetapi akan mencakup bidang
sosial-kemasyarakatan, sejarah budaya, politik dan bidang psikologi.
Muhammad
Quthub seorang penulis yang prolifik (prolific
writter), yang banyak menulis buku dalam bahasa Arab,dan ia banyak
mempengaruhi pemikir Arab masa kini. Ia hidup di Mesir selama ketika perbedaan
pikiran dan debat di bawah kerajaan tunduk kepada monolog Nasserisme. Tahun-tahun
formatifnya menyaksikan pergantian gerakan unutuk bebas dan kendali kolonial
Inggris, dan juga debat serta konflik dikalangan orang Mesir sendiri mengenai
masa depan negara mereka.
Muhammad
Quthub banyak memiliki kesamaan dengan kakak kandungnya Sayyid Quthub, yaitu
sama-sama, menulis karya–karyanya dalam bentuk model “Islâm Haraqî”, jadi bukan hanya sebatas hubungan darah. Lebih dari
itu, dari soal model tulisannya, hingga cara dan sikap intelektualnya, tidak
jauh berbeda dengan Sayyid Quthub.
Muhammad
Quthub juga hidup pada era yang berbeda, yaitu era presiden Nasser, lalu era
pemerintahan presiden Sadat, setelah di lantik pada tanggal 15 Oktober 1970,
beberapa hari setelah presiden Nasser meninggal karena serangan jantung pada
tanggal 28 september 1970. Setelah presiden Sadat meninggal digantikan oleh
president Husni Mubarok. Situasi tidak stabilnya pemerintahan Mesir ini
tentunya akan mempengaruhi sikap serta pola pikir Muhammad Quthub yang sejak
awal sangat memperhatikan Mesir dan para penduduknya.
Dari
karya awalnya “Al-Insân bayna al-Mâdiyyah
wa al-Islâm”, hingga “Jâhilîyyah
al-Qarn wa al-‘Isyrîn”, Muhammad Quthub mengatakan perang terhadap ideologi
dan pandangan-pandangan asing. Dalam kamus intelektualnya, hanya ada dua entry;
pertama Islam (al-muslimûn) dan kedua jahiliyah (kuffâr). Dua terma
dialektis tersebut mengisi hampir seluruh karya-karya Muhammad Quthub dan dua
terma tersebut—menurutnya—ada dalam sepanjang sejarah manusia.
Tulisan-tulisan
Muhammad Quthub tentang pendidikan selalu berangkat dari kekhawatiran akan
pendidikan para generasi sekarang ini. Problema yang sedang dihadapi oleh
anak-anak kita adalah terkoyaknya kehidupan psikhis dan dikadensi moral, hal
ini karena pengaruh budaya-budaya asing seiring dengan perkembangan zaman di
abad modern ini yang tak dapat dibendung lagi. Berangkat dari hal inilah betapa pentingnya pendidikan
bagi anak, yang tidak hanya diarahkan kepada membimbing anak sejak lahir hingga
dewasa saja. Namun direncanakan sebelum anak itu lahir ke dunia, yaitu sejak
orang tuanya memilih jodoh.
Karena
hal inilah penulis merasa tertarik dan menganggap penting membahas serta
menelaah pendidikan anak secara Islami yang telah diformulasikan oleh Muhammad
Quthub. Adapun fokus pendidikan anak yang diutarakan muhammad Quthub dimulai
sebelum kelahiran (pranatal) sampai
usia anak menjelang pubertas (15
tahun), dimana pada usia ini pendidikan yang Islami sangat penting dalam rangka
menanamkan nilai-nilai moral pada diri seorang anak. Dalam pembahasan artikel
ini penulis mencoba menelaah atau mengkritisi bagaimana formulasi pendidikan
anak secara Islami yang diutarakan oleh Muhammad Quthub.
B. Pemikiran
Muhammad Quthub tentang pendidikan Islam
1. Pengertian
pendidikan Islam
Istilah
“pendidikan” dalam bahasa Arab
disebut dengan “ta’lim”, ada yang
memilih “tarbiyah”, ada pula yang
mempertahankan “ta’dib”. Mengenai
penggunaan istilah ini, Quthub berpendapat bahwa istilah pendidikan (tarbiyah) dan pengajaran (ta’lim) tak perlu diragukan lagi,
keduanya berasal dari satu akar. Namun tampaknya Quthub lebih senang
menggunakan istilah “tarbiyah”, hal
ini karena istilah ‘tarbiyah mencakup
keduanya. Untuk selanjutnya Quthub mengartikan pendidikan Islam merupakan
pendidikan yang hendak membentuk pribadi seorang anak agar berakhlak baik, di
samping mendapatkan pengetahuan yang diperlukan bagi dirinya.[1]
Selanjutnya
Quthub menegaskan bahwa pendidikan Islam hendak membawa seorang anak menuju
pendidikan yang sesuai ajaran Islam yang sejati. Pembentukan moral dan tingkah
laku yang sesuai dengan ajaran Islam merupakan pendidikan yang digali dari
sumber primordial Islam itu sendiri (al-Qur’an dan al-Hadits). Dengan melihat
pengertian pendidikan Islam yang diutarakan Quthub, terlihat jelas bahwa
pendidikan Islam lebih merupakan pewarisan nilai-nilai keislaman yang mengarah pada keseimbangan dan keserasian perkembangan
manusia baik jasmani, rahani maupun akal menuju terbentuknya keperibadian yang
sempurna (insan kamil).
2. Ciri-ciri
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam
mempunyai ciri-ciri tersendiri, yang tentunya berbeda dengan karakteristik
pendidikan secara umum. Muhammad Quthub mengatakan bahwa metodologi Islam dalam
melakukan pendidikan adalah dengan melakukan pendekatan yang menyeluruh
terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada yang tertinggal dan terabaikan
sedikitpun, baik dari segi jasmani
maupun rahani, baik kehidupan secara
fisik maupun mental dan segala kegiatannya.[2]
Ciri utama sistem pendidikan Islam memandang manusia secara totalitas,
mendekatinya atas dasar apa yang ada pada dirinya, atas dasar fitrah yang
diberikan Allah kepadanya. Islam adalah agama fitrah,karena itu pendidikan yang
dihasilkan juga sesuai dengan fitrah manusia sebagai si terdidiknya. Menurut
Quthub, pendidikan Islam memberikan konsumsi pendidikan terhadap akal, jasmani
dan rahani.
Jika pendidikan
dewasa ini telah memiliki ciri-ciri sebagaimana yang digariskan oleh pendidikan
Islam, maka tujuan pendidikan kita akan tercapai dengan baik. Penyimpangan
tujuan pendidikan pendidikan kita sekarang ini, disebabkan karena penekanannya
lebih banyak konsumsi akal, yaitu pengembangan nalar, tanpa memperhatikan
pengembangan aspek-aspek lainnya. Dengan kata lain pendidikan hanya menekankan
aspek-aspek kognitif ansich.
Sedangkan aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat perhatian.
Akibatnya out-put yang dihasilkan
adalah manusia-manusia yang otaknya penuh dengan ilmu pengetahuan, sementara
jiwanya kosong dan gersang, karena tidak mengenal moral agama. Dari sinilah
perlunya adanya keseimbangan antara porsi
pendidikan secara integral
(menyeluruh).
3. Materi
Pendidikan Islam
Istilah “materi pendidikan”, berarti
mengorganisir bidang ilmu pengetahuan yang membentuk basis aktivitas lembaga
pendidikan, bidang-bidang ilmu pengetahuan ini satu dengan yang lainnya
dipisah-pisahkan, namun merupakan suatu kesatuan yang utuh. Materi pendidikan
harus mengacu kepada tujuan, bukan sebaliknya tujuan yang mengarah kepada suatu
materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh berdiri sendiri terlepas
dari kontrol tujuannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa pelajaran
matematika tidak akan bernilai guna seandainya tujuan yang akan dicapai tidak
dirumuskan yang jelas di dalam proses belajar mengajar.
Adapun berangkat
dari tujuan pendidikan yang diuraikan di atas, Muhammad Quthub memaparkan
kurikulum atau materi pendidikan Islam, meliputi; pendidikan moral (akhlak), pendidikan individu (rahani, jasmani dan
intelektual), dan pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya, ini merupakan kurikulum
yang telah ditetapkan oleh Allah yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Lebih lanjut, Quthub memuat kurikulum
yang tersirat dalam al-Qur’an, meliputi; iman, ibadah,bekerja, berperilaku, berpolitik,
ekonomi dan sosiologi.[3]
Tampaknya untuk mewujudkan generasi yang
kokoh iman dan Islamnya, Muhammad Quthub menekankan materi pendidikan yang
bersifat menyeluruh, mendasar dan universal. Materi-materi pendidikan tersebut
adalah materi ibadah, akhlak, pendidikan rahani, jasmani, akal dan iman.
4. Dasar Perlunya
Pendidikan Islam
Setiap
usaha pendidikan sangat memerlukan dasar sebagai landasan berpijak dalam
penentuan materi, interaksi, inovasi, tujuan dan cita-cita. Oleh karena itu,
seluruh aktivitas pendidikan meliputi penyusunan konsep teoritis dan
pelaksanaan operasionalnya harus memiliki dasar kokoh. Hal ini dimaksudkan agar
usaha yang terlingkup dalam pendidikan mempunyai sumber keteguhan dan keyakinan
yang tegas, sehingga praktek pendidikan tidak kehilangan arah dan mudah
disimpangkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar pendidikan.
Dasar pendidikan yang dimaksud tidak lain ialah
nilai-nilai luhur yang dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa
tempat pendidikan itu dilaksanakan. Berkaitan dengan pendidikan Islam, maka
pandangan hidup yang mendasari seluruh proses pendidikan Islam –menurut
Muhammad Quthub—adalah pandangan hidup Islami, yang merupakan nilai luhur yang
bersifat universal. Sistem pendidikan yang benar haruslah berdasar pada apa
yang digariskan oleh “kurikulum Allah”
dan kurikulum tersebut telah terkandung dalam al-Qur’an.[4]
Dari ungkapan Quthub tersebut dapat difahami bahwa al-Qur’an merupakan sumber
nilai Islam yang paling utama. Lebih lanjut menurutnya, sumber nilai yang
merupakan dasar pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an ialah :[5]
a.
Masalah akidah
atau doktrin agama. Menurut Quthub, akidah merupakan suatu pondasi bagi
pendidikan Islam. Akidah adalah tali yang mengikat diri manusia dan menyatukan
arah. Akidah merupakan pengatur jasad dan ruh serta memberi keseimbangan
terhadap semua dorongan untuk mencapai sasaran.
b.
Masalah
kemanusiaan. Yang dimaksud dengan nilai kemanusiaan adalah pengakuan terhadap
kemuliaan manusia, karena memiliki harkat dan martabat yang terbentuk dari
kemampuan kejiwaan yang digunakan oleh akal budinya yang membedakan dari
makhluk lainnya. Menurut Quthub, Islam sangat menghargai nilai persamaan
derajat, hak dan kewajiban, karena kedudukan manusia di hadapan Allah adalah
sama; yang membedakan manusia antara satu dengan yang lainnya hanya nilai
ketakwaannya.
c.
Maslah alam
semesta. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam berbicara pula tentang alam
semesta dengan cara mengaitkan Allah sebagai pencipta dan pengaturnya.
Berbicara tentang alam semesta secara tidak langsung berarti menyatakan
sebagian dari ciptaan Allah yang menakjubkan, dan sekaligus menunjukan
tanda-tanda kebesaran-Nya yang tak terbatas. Hukum alam merupakan tanda-tanda
kebesaran ilahi yang Allah letakan pada alam. Menurut Quthub, alam semesta
beserta segala energi, kondisi dan lingkungannya merupakan rahmat Allah yang
diberikan kepada manusia.
d.
Masalah
kehidupan. Menurut Muhammad Quthub, al-Qur’an berbicara tentang kehidupan pada
umumnya, khususnya kehidupan manusia, baik dalam aspek emosional maupun aspek
moral. Kehidupan di dunia ini tidak
terjadi secara kebetulan. Kehidupan ini terjadi atas kehendak Allah sebagai
pencipta dan pengatur alam semesta ini. Di dalam al-Qur’an pembicaraan tentang
kehidupan juga dikaitkan dengan masalah ketuhanan. Pembicaraan ini sebagian
dikaitkan dengan penciptaan mu’jizat-mu’jizat Allah, dan sebagian lagi
dikaitkan dengan kekuasaan-Nya menghidupkan kembali segala yang mati.
Dasar-dasar yang dikemukakannya ia gali dari fenomena yang ada dalam al-Qur’an,
yang sebenarnya fenomena tersebut merupakan langkah-langkah kehidupan ideal seorang muslim.
5. Peran Agama
dalam Pendidikan Anak
Peran
agama dalam pendidikan sangat penting, karena pendidikan saja tanpa agama akan
mengambang. Proses pendidikan merupakan wujud dari transfer ilmu pengetahuan,
padahal ilmu pengetahuan sendiri tidak bisa terlepas dari agama. Menurut
Quthub, sebenarnya ajaran-ajaran Islam di dalamnya telah berisi sistem
pendidikan untuk mengajar seluruh umat manusia, sebagai contoh shalat
ditetapkan waktunya, ini merupakan pendidikan yang luar biasa, diantaranya
kedisiplinan dan kepatuhan.[6]
Konsolidasi dan pengintesifan perilaku teladan Islami membantu dalam
mengarahkan dan membimbing seorang anak dalam menanamkan pendidikan yang
Islami. Hal ini merupakan bentuk pendidikan yang baik karena secara tidak
disadari akan membekas dan tertanam pada diri seorang anak. Lebih lanjut Quthub
menghimbau agar sekolah Islam baik SD, SLTP, SLTA dan universitas, tidak
mengajarkan faham yang memisahkan ilmu pengetahuan umum (sains) dan agama, karena sains tidak bisa diajarkan tanpa agama,
begitu sebaliknya tidak bisa terpisahnya antara agama dengan sain.
Pemisahan
antara sains dan agama, secara tidak terasa telah dilakukan juga oleh para
pengajar di sekolah-sekolah. Sebagai contoh dalam pelajaran Antropologi mengajarkan teori evolusi Darwin, dalam pelajaran Sosiologi mengajarkan teori Durkheim, dalam pelajaran Psikologi kita mengajarkan teori Freud tentang seks, dan dalam pelajaran Geografi
kita mengajarkan teori Big-Bang
(teori ledakan besar). Para guru dengan bersemangat mengajarkan teori-teori
tersebut, tanpa mengaitkan dengan agama, seolah-olah teori-teori tersebut sudah
final dan mutlak benar. Menurut Quthub, mata pelajaran harus diajarkan dalam
rangka meningkatkan keyakinan keagamaan dan membangkitkan rasa kesadaran
keagamaan (religius-consciousness)
kepada anak didik.[7]
C. Konsep
Pendidikan Anak secara Islami Muhammad Quthub
1. Anak dan
Perkembangannya
Muhammad
Quthub mengartikan anak sebagai sosok individu yang sedang mengalami proses
perkembangan dan pertumbuhan secara dinamis, baik mental maupun biologisnya.
Sehingga pada masa ini anak sangat
memerlukan bimbingan, pengarahan, pendidikan dan pengajaran. Adapun anak yang
menjadi amanat bagi para orang tua dan para pendidik adalah tidak terbatas pada
anak keturunan kita saja. Akan tetapi sebagaimana yang diungkapkan oleh Quthub “bahwa pengertian anak secara keseluruhan,
tidak terbatas pada manusia yang dilahirkan melalui tulang sulbi kita saja,
akan tetapi termasuk setiap anak orang muslim dimanapun berada dan dari
kebangsaan manapun”.[8]
Sebenarnya terlepas dari tugas (amanah)
dan tanggungjawab orang tua dalam mendidik anak, tujuan utama dari pendidikan
anak tersebut adalah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Sedangkan
pembentukan budi pekerti tersebut harus dilakukan sewaktu anak masih kecil, hal
ini karena pendidikan pembiasaan tingkah laku anak pada waktu kecil akan
membekas dalam hati seorang anak.
Quthub
menegaskan bahwa persiapan pendidikan anak secara dini dilakukan tidak saja
sejak terjadi pembuahan pada rahim ibu (janin),
akan tetapi semenjak pemilihan seorang isteri (jodoh).[9] Calon
suami diperintahkan untuk memilih calon isteri yang baik, untuk kelangsungan
generasinya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul SAW “pilihlah (calon teman hidup) kalian, demi untuk seperma kalian
(keturunan), sebab pengaruh keturunan itu kuat sekali”. (HR. Abu Dawud).
Fase berikutnya orang tua harus memperhatikan perkembangan janin pada rahim ibu,
karena sehat tidaknya kehidupan seorang anak pasca kelahiran sangat ditentukan
oleh perkembangan bayi (janin)
sewaktu masih dalam kandungan. Sehingga kelahiran seorang anak diharapkan
dengan sehat dan fase berikutnya mulai fase perawatan dan pendidikan menuju
kearah kematangan dan kedewasaan. Fase inilah yang kemudian disebut dengan fase
kesadaran, dimana sorang anak sudah bisa mulai belajar dengan lingkungannya.
Fase ini mulai menginjak pada fase belajar (educatif).
Biasanya fase educatif ini berawal ketika seorang anak mendekati usia enam
tahun. Fase berikutnya adalah periode akhir masa kanak-kanak (pubertas), fase ini disebut juga fase anak sekolah. Pada usia ini
menurut Quthub, sedang mengalami masa pendidikan, pengajaran dan pengarahan
akhlak, seorang anak mulai memasuki masa-masa stabil dan mulai merasakan
instink seksnya, mulai puber dan mulai memiliki tanggungjawab. Pada fase ini
pendidikan dan pengarahan orang tua masih sangat penting, karena pada masa ini,
seorang anak memiliki kecenderungan untuk lebih mudah dan peka terpengaruh oleh
teman-teman sebayanya, daripada orang tuanya dan anggota keluarga lainnya.
Kecenderungan ini akan hilang setelah anak memasuki masa remaja.
2. Pendidikan Anak
dalam Islam
Secara historis,
kelahiran anak dimulai dengan adanya pernikahan, yang mempertemukan kehidupan
manusia, yaitu antara laki-laki dan perempaun untuk menjadi satu keluarga.
Menurut Quthub, untuk membina kehidupan yang harmonis dalaam berumah tangga
harus dipersiapkan secara matang. Dalam hal ini seorang calon isteri atau suami
harus memilih pasangan yang baik dan berkualitas, hal ini ibarat seorang yang
mau bercocok tanam, mereka harus memilih tanah yang baik, subur dan cocok untuk
pertumbuhan tanamannya.[10]
Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an “Isteri-isteri
kalian adalah (seperti) tanah tempat kalian bercocok tanam”[...].(QS.
Al-Baqarah/2: 223).
Dalam persiapan pembentukan anak yang baik
diperlukan pencetak yang baik pula. Tidak diragukan lagi bahwa peran seorang isteri
(ibu) sangat berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya.
Perkembangan selanjutnya ketika janin telah bergerak
hidup dalam kandungan, Quthub mengingatkan kepada para ibu agar memperhatikan
kandungannya; yaitu dengan memperhatikan makanannya (gizinya), cara berjalan,
cara tidur, dan sebagainya agar bayi lahir dengan sehat.
Tahap berikutnya, ketika bayi lahir perlu adanya
penanganan yang serius, hal ini karena keadaan fisik dan psikhis seorang bayi
masih sangat lemah, pada saat ini seorang bayi sangat memerlukan kasih sayang
dan perhatian seorang ibu secara terus menerus,
pada saat ini sebenarnya telah mulai proses pendidikan pada seorang
anak. Dari sini tampak peranan ibu sangat mewarnai perilaku anak. Seorang ibu
bagaikan sekolah permualaan yang mengajar muridnya. Athiyah al-Abrasyi, menulis:
“Ibu adalah ibarat sekolah, jika engkau
persiapkan dia, berarti engkau telah mempersiapkan suatu generasi (bangsa) yang
baik dan kuat”.[11]
Menurut Quthub peranan ibu sangat besar dan menentukan, karena sejak hari
pertama sampai tahun ketiga, seorang anak mengalami fase perkembangan, yaitu
fase pengenalan, pembedaan dan fase pengertian.
Fase berikutnya anak usia tiga sampai tujuh tahun, merupakan usia dimana seorang anak
mulai terjun ke dalam masyarakat. Pada fase ini seorang anak mulai mengenal
masyarakat. Kemudian sejak usia tujuh tahun sudah mualai mengenal lingkungan
sekolahnya, bergaul dengan teman-temannya. Pada usia ini perlu bimbingan dan
pengarahan dari pihak orang tua dan keluarga. Orang tua mulai harus
memerintahkan seorang anak untuk mengerjakan shalat. Kemudian setelah usia
sepuluh tahun, orang tua harus lebih tegas lagi pada anaknya untuk
memerintahkan mengerjakan shalat. Pada fase ini juga seorang anak sudah mulai
merasakan instink seksnya, yang berarti sudah menginjak puber (balig) sehingga orang
tua harus mulai memisahkan tempat tidur seorang anak.
Fase berikutnya usia sepuluh sampai tujuh belas
tahun, merupakan anak sedang memasuki
usia dewasa (puber/baligh). Pada fase ini seorang anak mengalami proses
penemuan perubahan pada dirinya. Anak yang sedang dalam masa ini cenderung
kepada perilaku yang didorong oleh kondisi psikhis dan sosialnya, dan ini
merupakan reaksi terhadap gejolak yang ada dalam dirinya. Menurut Quthub, usia
ini masih perlu perhatian dari para orang tua dan para pendidik, karena usia
ini pengaruh lingkungan masyarakat sangat menentukan keberadaannya. Pengaruh
ini terkadang memberikan pengaruh buruk pada seorang anak, sehingga sikapnya
menyimpang dari norma dan etika yang telah dipupuk oleh kedua orang tuanya.
Quthub menjelaskan pedoman merawat dan mendidik anak
secara Islami, yang telah dirumuskan oleh pendidik pertama, yaitu Nabi SAW,
tata cara ini dilaksanakan oleh Siti Khadijah r.a. yang kemudian diikuti oleh
kaum muslimin lainnya, baik dikalangan ibu-ibu sahabat anshar maupun muhajirin
ketika di madinah.[12]
Daintara hukum yang disyariatkan Islam bagi anak yang baru lahir ialah
menyerukan adzan pada telinga kanan dan mengiqamati ditelinga kiri, kemudian mentahniknya (memamahkan kurma),
memberi nama anak dengan yang baik, mancukur
rambutnya, mengaqiqahi (menyembelih kambing), dan mengkhitannya. Demikianlah
langkah-langkah menurut ajaran Islam, sebagai pedoman perawatan dan
pemeliharaan anak sebagai ujud pendidikan permulaan pada seorang anak yang
harus dilakukan oleh orang tua.
3. Metode
Pendidikan Anak
Dalam
pendidikan metode (al-manhaj/al-thariqah) merupakan hal yang cukup urgen.
Peranan metode pendidikan berasal dari kenyataan yang menunjukan bahwa materi
kurikulum pendidikan Islam tidak mungkin tepat diajarkan, melainkan diberikan
dengan cara khusus. Adapun menurut Quthub, metode pendidikan ala Islam bisa
melalui teladan (al-Tarbiyah bi al-Qudwah),
melalui cerita-cerita (al-Tarbiyah bi
al-Qishshah), melalui nasehat (al-Tarbiyah
bi al-Mau’izhah), malalui pembiasaan
(al-Tarbiyah bi al-‘Âdah), dan
melalui pengalaman-pengalaman kongkrit (al-Tarbiyah
bi al-Ahdâts).[13]
Lebih lanjut menurut Quthub, orang tua sebelum mendidik seorang anak dengan
metode di atas, harus menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia, sabar,
syukur, ikhlas, tawakal, dan berlaku benar, hal ini karena keteladanan sangat
diperlukan dalam pendidikan seorang anak. Baik-buruknya akhlak seorang anak
diawali dari baik-buruknya contoh teladan yang diberikan orang tua kepada
anak-anaknya.
D. Penutup
Pemikiran
Muhammad Quthub tentang pendidikan anak merupakan reaktualisasi dari
langkah-langkah dan pedoman pendidikan yang dianjurkan oleh Islam. Dengan
mencermati pemikirannya, khususnya konsep pendidikan anak, para orang tua dan
para pendidik berarti telah memiliki resep
berupa formulasi sistem pendidikan anak yang dapat diterapkan dalam pendidikan
anak dewasa ini. Pendekatan Muhammad Quthub dalam pendidikan anak dilakukan
dengan cara menyeluruh, hal ini terbukti dari metode yang dipakai dalam mengelaborasi seluk-beluk anak dan perkembangannya.
Pertama, ia pandang anak sebagai
sosok individu yang sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan dinamis, baik
biologis maupun mental. Sehingga pendekatan psikhologis ia pakai dalam
menyelami dunia anak tersebut. Kedua,
ia pandang anak dari persfektif
Islam, dimana banyak ayat maupun hadits yang terkait dengan pedoman merawat,
membimbing dan mendidik anak.
Pemikiran
Muhammad Quthub tentang pendidikan anak ini, merupakan salah satu upaya reaktualisasi dari pendidikan anak
secara Islami yang akhir-akhir ini terasa
terabaikan. Hal ini karena
pendidikan hanya menekankan aspek kognitif ansich,
sedangkan aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat perhatian.
Semestinya pendidikan merupakan proses humanisasi,
bukan sebaliknya, yaitu proses dehumanisasi.
Wallahu ‘alamu bi al-shawab.
Daftar Pustaka
Al-Abrâsyi,
Muhammad Athiyah, 1979, Al-Tarbiyah
al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ, Beirut: Dar al-fikr, Cet-2.
Dep. P dan K, Tim, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: CV.
Balai Pustaka, Cet-3.
Depag
RI, 1995, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Jakarta: PT. Intermasa.
Dradjat,
Zakiyah, 1995, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, Bandung: Bumi Aksara.
Isro,
2001, Al-Insan Al-Kamil Menurut Al-Jili,
dalam Jurnal Studi Islam, Volume 1,
Nomor 2, Pebruari, Semarang: CV Program Pascasarjana IAIN Walisongo Press.
Isro,
2002, Pemikiran Muhammad Quthub tentang
Pendidikan anak dalam Persfektif Islam, Semarang: Thesis Program Pasca
sarjana IAIN Walisongo, Tidak diterbitkan.
Isro,
2006, Memahami Cinta (Kajian Cinta secara
Islami), dalam Majalah MGP (Media Guru dan Pelajar), edisi
Perdana/Th.1/November, Bumiayu: Yayasan Baeti Press.
Isro,
2006, Peran Agama dalam Pendidikan,
dalam Majalah MGP (Media Guru dan Pelajar), edisi Perdana/Th.1/Oktober,
Bumiayu: Yayasan Baeti Press.
Jalal, Abdul Fattah, 1988, Azas-Azas Pendidikan Islam (Min Ushûli al-Tarbiyah al-Islâmiyah), Terj.., Bandung: CV. Diponegoro.
Quthub,
Muhammad, 1964, Jâhiliyyah al-Qarn
al-‘Isyrîn, Kairo: Maktabah Wahbah.
Quthub,
Muhammad, 1973, Ma’rakatu al-Taqâlîd,
Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub,
Muhammad, 1973, Syubuhâtu Haula al-Islâm,
Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub,
Muhammad, 1983, “Islam dan Krisis Dunia
Modern”, dalam Khursyid Ahmad, (ed), Pesan
Islam (Islam: its’s Meaning and Message), terj. Achsin Ahmad, Bandung, CV.
Pustaka.
Quthub,
Muhammad, 1983, Al-Insân Bayna al-Madiyyah
wa al-Islâm, Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub,
Muhammad, 1983, Fî al-Nafsi wa
al-Mujtama’, Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub,
Muhammad, 1983, Manhaj al-Fani al-Islâmi,
Beirut: Dar al-Syuruq.
Quthub,
Muhammad, 1987, Manhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyyah,
Juz 1-2, Kairo: Dar al-Syuruq, Cet-7.
Quthub,
Muhammad, 1987, Waqi’unâ al-Mu’ashir
al-Madinah li al-Shahafah, Jedah: Wath-Thaba’ah wa al-nashr.
Quthub,
Muhammad, 1991, Ra’yatun Islâmiyah li
Ahwal al-‘Alam al-Mishr, Riyadh: wath-Thaba’ah wa al-Nashr.
Quthub,
Muhammad, 1993, Auladunâ fî dlau’i al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Terj.
Harun Abubakar Ihsan, Bandung: CV. Dipenogoro.
Quthub,
Muhammad, 1979, The Role of Religion in
Education, dalam syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas (Editor), Aims and objectives of Islamic Education
(Islamic education Series), Jedah; Hodder and Stroughton, King Abdul aziz.
Tauhid
MS, Abu, 1990, Beberapa Aspek Pendidikan Islam, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah
IAIN Sunan Kalijaga Press.
Biografi
Penulis :
Nama
|
Isro, M.Ag.
|
TTL
|
Brebes, 14 Juni 1974
|
Alamat
|
Jl. Clakar 06 Kp. Parasi RT.5/RW.1, Desa
Karangpari, Kec. Bantarkawung, Brebes 52274
|
E-mail
|
isromag@yahoo.co.id
|
HP/Telpon
|
0852 1519 5333/0888 260 5 260
|
Riwayat Pendidikan
|
|
1.
Sekolah Dasar
|
SD Negeri Karangpari 1 Bantarkawung Brebes
|
2.
SLTP
|
MTs Miftahul Huda Bangbayang Bantarkawung
Brebes
|
3.
SLTA
|
MA Negeri Purwokerto 1 Banyumas
|
4.
Sarjana Strata-1
|
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta/Ty-PBA
|
5.
Sarjana strata-2
|
IAIN Walisongo Semarang/Ty-PPI
|
6.
Pelatihan Bahasa
|
1.
Pesantren Darussalam
Purwokerto /Bhs. Arab
|
|
2.
Institut MAHESA Pare Kediri/Bhs. Inggris
|
|
3.
UBINSA Semarang/Bhs. Inggris
|
|
4.
KKT UNNES/Bhs. Inggris
|
[1]
Muhammad Quthub, Manhaj al-Tarbiyah al-Islâmiyyah, Juz 1, Kairo: Dar al-Syuruq,
Cet-7, 1987, hal. 18.
[3]
Muhammad Quthub, Manhaj...
hal. 2
[5]
Muhammad Quthub, Manhaj...
hal. 4-21
[6]
Muhammad Quthub, The Role of Religion in
Education, dalam Syed
Muhammad Al-Naquib Al-Attas (Editor), Aims
and objectives of Islamic Education (Islamic education Series), Jedah; Hodder
and Stroughton, King Abdul Aziz, 1979, hal. 5.
[8]
Muhammad Quthub, Auladunâ fî dlau’i al-Tarbiyah
al-Islâmiyah, Terj. Harun Abubakar Ihsan, Bandung: CV. Dipenogoro, 1993, hal. 17.
[11] Al-Abrâsyi, Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah
al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ, Beirut: Dar al-fikr, 1979, Cet-2, hal. 138.
[13]
Muhammad Quthub, Manhaj... hal. 180.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar